Nov 15, 2017

Mencintai Rupiah = Mencintai Indonesia

Indonesian  Rupiah (IDR) menjadi mata uang nasional maupun internasional bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rupiah cukup terkenal dari pertama kali diperkenalkan pada tanggal 30 Oktober 1946 dengan nominal pertama kali 1 sen. Rupiah seolah menjadi pencerah sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia menggantikan sistem pembayaran kuno; barter.


Di tengah zaman dan perkembangannya, rupiah terus berinovasi melalui Bank Indonesia sebagai otoritas tertinggi di Indonesia yang menerbitkan uang rupiah. Rupiah semakin dipercantik dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini.
Uang Rupiah Zaman Now
Sumber Gambar: https://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/1440527/big/063070000_1482208960-Uang_Rupiah_Baru-ok.jpg
Banyak yang bilang kalau "Gak ada uang kita gak bisa hidup" dan ternyata pernyataan tersebut memang benar adanya. Banyak cara pembayaran yang ada di Indonesia. Namun, hampir kebanyakan masyarakat Indonesia begitu mencintai uang rupiah dengan bentuk fisik yang ada baik itu uang kertas maupun uang logam. Rupiah masih tetap dibutuhkan, dicintai, dan tidak dapat dipisahkan dari culture belanja masyarakat Indonesia.

Sepanjang perjalanan sejarahnya, Mata Uang Rupiah merupakan representasi cinta kita sebagai warga masyarakat Indonesia. Mengapa demikian?

Dalam setiap edisi cetaknya, mata uang rupiah kebanyakan dicetak dengan gambar para pahlawan dan pejuang yang rela berkorban bagi Indonesia. Memperjuangkan kemerdekaan, memperjuangkan kebahagiaan warga negara Indonesia, serta memperjuangkan kesejahteraan Indonesia. Mata uang rupiah juga meng-edukasi kita sebagai warga negara yang baik agar mengetahui para pahlawan dan bagaimana kita dapat menghargai dan mengenang jasa para pahlawan; melalui rupiah.
Cara Sederhana Mencintai Indonesia
Sumber Gambar: http://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featindri.jpg

Ada banyak cara memang untuk mencintai negeri yang Indah, elok, nan damai ini salah satunya denga mencintai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia; Rupiah. Cara yang cukup sederhana dibandingkan dengan pengorbanan para pahlawan yang harus rela kehilangan keluarga, cinta dan nyawa di masa lampau. Kita sebagai Generasi Zaman Now memiliki cara yang lebih sederhana untuk mencintai Negeri Ibu Pertiwi ini. Dengan mencintai Rupiah tentu kita akan disejajarkan dengan mencintai Indonesia tentu dengan cara yang sangat sederhana. Caranya pun sangat sederhana, kita hanya perlu untuk menggunakan uang rupiah yang resmi dikeluarkan oleh Bank Indonesia juga mempergunakan uang rupiah sebagai alat pembelian yang sah dan juga dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan semestinya. Anggap saja menjaga dan mencintai rupiah itu sama dengan kita menjaga dan mencintai kekasih kita sendiri.

Ingat Band Netral yang memiliki lagu "Garuda di Dadaku"? kalau untuk Generasi Zaman Now kita harus bisa membuat "Rupiah di Dadaku"?

Mudah kan mencintai Indonesia?

Sep 25, 2017

Membuktikan Keindahan Banyuwangi

“Banyak orang bilang kalau Pulau Jawa itu hanya sebatas beberapa kota besar seperti DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, bahkan Yogyakarta. Tapi, setelah mengunjungi Banyuwangi, Pulau Jawa bukan hanya kota-kota tersebut saja”.

Yes, bulan september 2017 memang surganya para pencinta jalan-jalan. Selain banyaknya tanggal berwarna merah, bulan September 2017 juga masih bertepatan dengan musim kemarau di Indonesia. Tentu kemarau jadi favorit bagi para pejalan untuk sekedar melepas lelah pekerjaan di akhir pekan.

Setelah menentukan tanggal, transportasi selama di Banyuwangi, hingga penginapan yang menjadi tempat singgah selama di Banyuwangi, maka yang ditunggu adalah saat hari itu datang. Yess. Perjalanan menuju Banyuwangi dari Yogyakarta menggunakan Kereta Api Sri Tanjung akan menempuh perjalanan kurang lebih 13 Jam. Membosankan? Tentu tidak. Karena dari sebelum memulai perjalanan ini, niat saya adalah untuk berlibur, bersenang-senang selama liburan.

Banyak cerita menarik selama perjalanan diatas Ka.Sri Tanjung. Di Kereta api kelas ekonomi ini kita akan menemukan banyak tingkah perilaku berbagai macam manusia yang beragam dan unik. Ada yang membawa anak dengan cukup banyak, hingga saya bertemu dengan seorang traveller yang melalukan solo traveller, dan orang yang membawa barang bawaan yang cukup banyak; kaya mau pindahan.

Di sepanjang perjalanan pun saya begitu menikmati sajian alam khas Indonesia yang cukup indah. Bahkan untuk pertama kalinya saya melewati daerah terdampak dari Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Sayangnya jalur kereta hanya berada di samping lokasi yang kini menjadi museum Geologi. Selain itu, saya juga untuk pertama kalinya mengetahui kota-kota yang ada di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang belum saya ketahui sebelumnya. Padahal, saya lahir dan besar di Jawa.
Tiba di Stasiun Karangasem pukul 20.34 membuat waktu perjalanan selama 13 jam terasa tidak terlalu lama. Ternyata banyak juga yang turun di stasiun ini. Padahal masih ada stasiun akhir dan menjadi stasiun paling ujung di Pulau Jawa, Stasiun Banyuwangi Baru.

Menginjakkan kaki di Banyuwangi pertama kali untuk berlibur membuat hati saya cukup senang. Memang mengunjungi Banyuwangi bukan jadi kesempatan pertama, namun kesempatan mengunjungi Banyuwangi hanya untuk melakukan penyebrangan ke Pulau Bali. Dan, kesempatan pertama untuk mengunjungi Banyuwangi dengan tujuan untuk berlibur tentu membuat hati ini senang.

Malam itu juga, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan menuju Ijen. Setelah turun dari kereta saya bertemu dengan beberapa orang yang juga mempunyai tujuan untuk berlibur di Banyuwangi. Setelah mengobrol dan berkenalan maka kami memutuskan untuk singgah di dekat stasiun sambil menunggu tengah malam untuk menuju Ijen Creater.

Tujuan saya ke Ijen Creater adalah untuk memotret keindahan blue fire khas Ijen dan kegiatan para petani belerang dari masyarakat Ijen itu sendiri. 

Dengan penuh semangat pukul 00.00 wib, saya yang pergi dari Yogyakarta bersama orang tersayang plus ditambah teman on the spot yang ternyata satu kampus memutuskan untuk pergi ke Ijen dengan konvoi menggunakan sepeda motor. Tidak sulit menuju Ijen dari Stasiun Karangasem, tidak perlu khawatir akan tersesat. Karena kesan pertama saya saat akan menuju Ijen adalah Akses menuju lokasi wisata yang tidak terlalu sulit. Hal ini didukung dengan insfrastruktur yang cukup baik dan tersedianya petunjuk jalan di setiap persimpangan jalan. Tentu hal ini mempermudah wisatawan dengan budget terbatas seperti saya. Liburan yang dilakukan tanpa paket wisata dan tour guide. Bahkan untuk transportasi saja menggunakan jasa penyewaan motor. 

Kurang lebih 2 jam perjalanan dari Stasiun Karangasem menuju Kawah Ijen dengan menggunakan sepeda motor. Tiba di Parkir Ijen sekitar pukul 02.00 pagi dengan kondisi badan yang sudah menggigil karena kedinginan. Dilanjukan dengan mendaki kurang lebih 2-3 jam menuju puncak kawah Ijen. Harga tiket masuk kawah ijen adalah sebesar Rp.7500,- di hari libur untuk wisatawan nusantara dan biaya parkir. 

Selama perjalanan mendaki menuju puncak, saya bertemu dengan banyak wisatawan baik wisatawan asing maupun dari Indonesia. Ada yang unik saat sedang mendaki, yakni adanya Taksi/Ojek Gunung Ijen. Dimana ojek/taksi ini dikemudikan oleh manusia dengan menarik/mendorong gerobak yang sudah dimodifikasi untuk 1-2 orang. Ada rasa iba betapa beratnya perjuangan para pengemudi Taksi Gunung tersebut. Dimana 1-2 orang penumpang ditarik oleh 2-3 orang driver

Sayangnya, karena kondisi kaki yang kurang siap menghadapi beban dan medan ke Ijen Creater, saya memutuskan untuk berhenti sampai warung yang berada sebelum tanjakan menuju puncak. Sedih, karena saya tidak bisa menikmati keindahan Blue fire Ijen Creater. Namun, untuk mengobati hal tersebut maka saya memutuskan untuk mengunjungi Kawah Wurung yang berada di tetangga Banyuwangi, yakni Kab,Bondowoso. Indah, namun sayang lokasinya sulit terjangkau serta insfrastruktur yang kurang memadai.

Dekatnya penginapan yang dipilih dengan pantai Watu Dodol membuat mata sulit untuk berpaling dari indahnya laut Ujung Timur Pulau Jawa ini. Biru, tenang, dan jernih membuat mata ini sangat menikmati keindahan ciptaan tuhan. 
View Baru Dua Beach Hotel
Foto: Dok. Pribadi
Rasa penasaran yang datang membuat saya ingin mengunjungi Bundar (Bangsring Underwater) tempat yang cukup terkenal (saya browsing info) dengan Rumah Apung dan Penangkaran Hiu. Tiket masuknya pun cukup murah Hanya Rp.4000,- (Sudah parkir motor). Tetapi, Apabila ingin menyebrang menuju rumah apung kita hanya ditarik biaya sekitar Rp.5000,-saja. Dan jika kita ingin menikmati indahnya laut Banyuwangi lalu bermain-main bersama nemo kita hanya cukup membayar Rp.30.000,- saja. Menarik kan?
Rumah Apung & Snorkeling Bangsring Underwater
Foto: Dok. Pribadi

Di hari ke 3, saya penasaran dengan Taman Nasional Baluran. Meskipun secara letak berada di Kabupaten Situbondo, namun tak sedikit orang-orang yang meng-upload Baluran di Banyuwangi. Jadi, Banyuwangi atau Situbondo?

Memutuskan untuk berangkat pagi menuju Baluran. Karena, menurut orang-orang yang saya tanyai, waktu yang tepat untuk berkeliling di Baluran adalah pagi hari mulai pukul 05.00 wib - 08.00 wib. Dimana di waktu tersebut hewan-hewan liar keluar untuk mencari makan. Seperti; Rusa, Monyet, hingga Merak. Indah bukan? kita memang dimanjakan seperti berada di Savana asli yang ada di Afrika Selatan. Tapi hati-hati, di Baluran jangan bawa makanan atau apapun yang menurut si monyet seperti makanan. Nanti akan bernasib seperti saya, dimana kunci hotel dibawa lari monyet, dan kulit jok motor menjadi korban cabikan monyet-monyet liar.
Taman Nasional Baluran, Savana Bekol
Foto: Dok. Pribadi
Di Baluran sendiri terdapat satu pantai yang bisa dibilang sebagai Hidden Paradise, yaitu Pantai Bama. Pantai ini masih menyimpan keindahan lautnya dibalik Hutan Baluran yang sangat gersang. Air laut nya biru seperti menembus kaca, hutan mangrove dan pepohonan yang rindang menghalangi kita dari teriknya panas. Dan juga kawanan monyet liar yang tetap mengintai kantong atau tas yang kita bawa. Jadi, tetap berhati-hati yaaa.
Setelah puas dari Baluran, saya menuju Kota Banyuwangi. Ada beberapa pantai yang membuat saya tertarik. Yakni Pantai Boom dan Pantai Syariah. Namun, saya baru mengetahui kalau Pantai Boom sedang ditutup karena akan dibangun marina di sekitar pantai. Akhirnya, untuk mengobati kekecewaan karena tidak bisa menikmati keindahan Pantai Boom maka saya memutuskan untuk ke Pantai Syariah. Unik kan?

Nama pantai yang unik dan cenderung islami ini memang menggunakan konsep yang serupa. Dimana pintu masuk antara Akhi (laki-laki) dan Ukhti (perempuan) dipisahkan. Pintu masuk laki-laki ke sebelah kanan dan perempuan di sebelah kiri. Selain itu, terdapat tata tertib agar menghentikan aktivitas apapun saat mendengar adzan. Benar saja, saat adzan magrib sudah tidak ada orang satupun yang beraktivitas di pantai.
Bermain kano di Pantai Syariah
Foto: Dok.Pribadi

Rasanya, 4 hari 3 malam di Banyuwangi terasa kurang. Beberapa tempat yang saya tulis ternyata berbeda arah dengan penginapan. Kelak, saya harus kembali menikmati betapa majestic nya Banyuwangi. Rasanya akan merugi karena kita tidak tau Banyuwangi. Gimana? Pengen kan ke Banyuwangi? apalagi sama orang tersayang.

Sep 12, 2017

Kereta Penghubung Para Perantau

16 Juli 2017, Kereta Api Krakatau Ekspress Relasi Blitar-Merak melakukan perjalanan terakhirnya dalam melayani penumpang dengan tujuan baik dari Blitar menuju Merak, maupun sebaliknya. Kereta ini akan  digantikan Ka. Singasari dengan relasi yang dipendekkan, yakni Blitar-Pasar Senen. Hal ini dilakukan karena faktor okupansi. Menurut PT.KAI, hal ini dilakukan mengingat okupansi Ka.Krakatau untuk relasi Merak-Pasar Senen. Selain itu, banyaknya warga dari sekitar Banten terutama Rangkas Bitung lebih sering menggunakan Ka Lokal menuju Tanah Abang dan berganti KRL untuk menuju lokasi selanjutnya yang akan dituju.

Mengenang Ka Krakatau
Sumber: kereta-api.info
Hilangnya Ka.Krakatau memang tidak sepenuhnya dihilangkan. Dengan kata lain, Ka.Singasari tetap akan melayani para penumpang yang akan menuju Jakarta maupun Banten. Namun, hingga Stasiun Pasar Senen saja. Penumpang bisa melanjutkan dengan menggunakan KRL dari Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Tanah Abang. Lalu, dilanjutkan KRL dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkas Bitung. Bagi mereka yang tujuan akhirnya bukan di Stasiun Rangkas Bitung tentu harus melanjutkan perjalanannya dengan Ka. Lokal Merak. Pertanyaannya sekarang adalah efisien kah saat bepergian jarak jauh dengan transit beberapa kali? Analoginya adalah saat kita sudah berumur, membawa barang banyak, membawa anak, atau saat kereta kita ternyata berbarengan dengan para penumpang Ka yang merupakan mereka yang mengadu nasib di Jakarta dan sekitarnya tetapi memiliki rumah seperti di Parung Panjang bahkan Rangkas Bitung. Efisien kah?
KRL yang kurang manusiawi saat jam kerja
Sumber: Dokumen Pribad
Berhenti beroperasinya Krakatau tentu membuat sedih beberapa pelanggan setia. Saya membuat riset kecil dan membagi kedalam beberapa kategori, yaitu: Perantau (mahasiswa), Orang Tua, Pemudik antara pulau Jawa dan Sumatera, serta mereka dengan barang bawaan yang cukup banyak.
Lalu, apa gunanya saya meneliti hal tersebut?

Hal yang pertama saya dengar saat PT.KAI memutuskan untuk mengganti Ka. Krakatau menjadi Ka. Singasari adalah respon kesedihan dari beberapa teman saya yang merantau di Jogja. Sejak awal Ka.Krakatau beroperasi mulai dari relasi Merak-Madiun, Merak-Kediri, hingga Merak-Blitar, beberapa teman saya se-perantauan masih asik menggunakan Ka.Krakatau sebagai alternatif untuk kembali ke kampung halaman dari perantauan.

“Yaah, sedih yaah Krakatau dihapus. Jadi bingung deh entar balik ke Serang naik apa”. Curhat seorang teman yang tidak bisa menggunakan transportasi lain selain kereta api.

“kalau Krakatau dihapus entar ke Serang gimana yaa? Padahal udah enak ada kereta langsung sampe ke Serang. Bahkan Sampe pelabuhan malah. Jadi tinggal nyebrang aja naik kapal ke Lampung”. Curhat seorang teman yang berasal dari merak dan mudik ke Lampung.

“Kasian tau kalau bapak mau ke Madiun. Biasanya naik Krakatau dari Cilegon langsung turun di Madiun. Sekarang harus cari alternatif lain. Kalau harus naik lokal terus transit KRL kasian juga. Masa orang tua harus dempet-dempetan. Belum lagi kalau bawa barang bawaan banyak”. Curhat seorang teman yang orang tuanya pelanggan setia Krakatau dari Cilegon.

Sebenarnya curhatan serupa beberapa teman saya masih banyak. Namun, dari ketiga curhat diatas merupakan suara dari mereka yang memilih Ka.Krakatau sebagai pilihan utama untuk menuju Banten dan sekitarnya maupun menuju ke Jawa Tengah, DIY, hingga Jawa Timur.

Pada kesempatan ini, dalam rangka Ulang Tahun KAI ke 72 tentu menjadi harapan bahwa Kai di Masa Mendatang juga dapat melayani daerah-daerah yang menjadi penghubung antar pulau. Tentu sebagai warga Banten saya merasa kesedihan cenderung iri dengan Banyuwangi. Dalam hal ini Banten merupakan sebuah provinsi yang menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Apalagi, Banten letaknya bertetangga dengan Ibu kota Indonesia DKI Jakarta. Akan tetapi, pilihan transportasi terutama kereta api sangat tidak ada yang melayani relasi jarak jauh. Mungkin kunjungan wisatawan yang akan ke Banten jauh lebih sedikit daripada yang akan ke Banyuwangi lalu melanjutkan perjalanan ke Pulau Dewata Bali. Namun, Banten juga butuh transportasi yang beragam seperti Mutiara Timur relasi Banyuwangi-Surabaya Gubeng PP. Ka.Sri Tanjung relasi Banyuwangi Baru – Lempuyangan PP. Atau Ka. Tawang Alun relasi Banyuwangi-Malang.

Opsi transit menggunakan KRL dan Ka.Lokal menurut saya bukan menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat baik yang berasal dari Lampung, Cilegon, Merak, Serang yang akan menuju kota-kota di Jawa. Karena efisiensi waktu dan menguras banyak tenaga. Apalagi KRL bukan moda transportasi yang tepat untuk mereka yang akan menghabiskan waktu perjalanan yang sangat lama.

Saran sederhana dari masyarakat awam seperti saya adalah dengan membuka Kereta Api komersil jarak sedang maupun jauh. Misalkan membuka relasi baru Yogyakarta-Merak, Solo-Merak, atau Madiun-Merak, ataupun membuka kembali relasi Kereta komersil seperti Ka.Argo Parahyangan yang melayani relasi Jakarta-Bandung dengan diaplikasikan relasi Merak-Pasar Senen.

Harapannya adalah PT.KAI di usia yang ke 72 tahun ini tetap melihat bagaimana kebutuhan dari masyarakat yang saat ini semakin mencintai Kereta Api sebagai moda transportasi yang utama. Sayapun demikian. Perjalanan yang nyaman selama di dalam kereta membuat saya jatuh hati kepada Kereta Api. Saya jatuh hati dengan Pelayanan Prima Untuk Semua Pelanggan dan Kenyamanan Penumpang. Karena sampai saat ini saya belum menemukan transportasi yang memberikan kenyamanan bagi para penumpangnya.

Dengan demikian PT.KAI dapat terus berinovasi dan semakin memperluas jaringannya terutama untuk wilayah Banten. Keberagaman transportasi dari dan menuju ke Banten merupakan mimpi bagi masyarakat seperti saya dan masyarakat lainnya yang merantau. Dan kembali ke tanah kelahiran dengan menggunakan moda transportasi yang aman, murah, dan nyaman. Saya sangat mendukung PT.KAI terus mewujudkan visi sebagai penyedia jasa perkeretaapian terbaik yang fokus pada pelayanan pelanggan dan memenuhi harapan stakeholders.

Selamat Ulang Tahun PT.Kereta Api Indonesia (persero) yang ke 72!!
Teruslah berinovasi dengan mendengar penumpang setia-mu. Karena kenyamanan kami adalah kebahagiaan Kereta Api Indonesia. 

Semoga Warga Banten kembali bisa menikmati kenyamanan jalan-jalan ke Jogja, Solo, Kediri, Madiun, Blitar dengan menggunakan Kereta Api tanpa harus transit, rela berdesakan, dan buang-buang waktu. Karena di masa mendatang, akan bermunculan transportasi yang mengutamakan kenyamanan dan menjangkau seluruh masyarakat. 

Aug 15, 2017

Lari Ke Jogja

Sebagai anak yang berasal dari ujung Barat pulau Jawa, saya memiliki sebuah tekat saat masa sekolah dulu. Tekad itu soal “Merantau.” Merantau menurut pandangan saya adalah tentang bagaimana kita melihat dunia yang baru, yang lebih luas, yang lebih menyajikan sebuah pengalaman yang kelak tidak akan pernah bisa dilupakan.

Jogja.
Saat ini menjadi (sebuah) kota yang menjadi pilihan hati untuk merantau; mencari banyak ilmu serta pengalaman yang akan menjadi berharga. Jogja, dipilih berdasarkan hati nurani, dan berangkat dari ke-ingin-tahuan se-istimewa apa kota itu. Bahkan (ke)istimewaan-nya pun terdengar hingga ke pelosok negeri, bahkan ke pelosok mancanegara. Maka, dipilih-lah jogja sebagai kota tempat menaruh ransel untuk mencari ilmu.

Jogja memang terdengar asing bagi saya. Selama hidup, saya hanya baru 1 kali berkesempatan untuk menikmati jogja. Itupun hanya dalam waktu yang terbatas bahkan sangat singkat sekali. Belum cukup rasanya saya menikmati keindahan Jogja. Jogja ternyata benar-benar ngangeni, bikin orang pengen balik lagi kesana.

Perlahan tapi pasti. Waktu yang dinanti pun telah tiba. Dimana kesempatan emas bagi saya untuk menikmati keistimewaan jogja itu ada.

Pertama kali datang di Jogja, kesan pertama saya terhadap masyarakat disini adalah ramah. Sampai timbul pertanyaan di benak saya “Kok orang jogja nih suka senyum yaaa, padahal kita belum saling kenal.” Saya tidak hanya menemui satu orang saja yang senyum kepada saya. Namun banyak orang memberikan senyum yang (ternyata) jadi senyum khas orang jogja. Dan itu tidak saya temui di kota kelahiran yang membesarkan saya hingga saya belum merantau.

Kesan ramah ini jadi sambutan yang hangat, sambutan yang positif dan membuat saya nyaman untuk merencanakan hidup di Jogja hingga beberapa tahun kedepan. Betapa menyenangkannya hari-hari saya kelak apabila dikeliling saya banyak orang-orang ramah yang tidak pelit hanya untuk tersenyum. Bahkan sampai sekarang pun gue masih menemui orang-orang dengan senyum khas yang ramah itu. Dimanapun.

Alasan lain kenapa jogja itu nyenengi adalah jogja diberikah keberkahan oleh tuhan untuk memiliki banyak tempat wisata, bahkan tidak pernah ada habisnya. Jogja memang istimewa. Lihat saja pariwisata nya. Kamu mau wisata pantai? Silahkan berlari kea rah selatan. Kamu ingin mengenal lebih jauh tentang ke-istimewaan jogja? Silahkan berjalan menuju keraton dan bertemu-lah dengan masyarakat asli jogja. Kamu ingin tahu tentang Merapi yang Tak Pernah Ingkar Janji? Silahkan mendaki ke utara. Kurang apalagi jogja ini? Pantai ada, gunung ada, sejarah ada, bahkan jogja yang sudah mulai digerus oleh modernitas pun saat ini sudah terlihat.

Mau belajar tentang sejarah & Budaya Jogja?
Datang ke keraton
Berwisata di jogja tidak hanya cukup dengan daftar paket wisata selama 3Hari 2Malam atau 4Hari 3Malam. Bahkan untuk yang sudah bertahun-tahun pun dirasa belum cukup untuk mengelilingi daerah istimewa ini. Bukan hanya berkeliling menikmati keindahan yang tuhan berikan kepada Jogja. Tetapi juga merasakan betapa kedamaian itu masih ada di jogja hingga saat ini. Tidak akan tergerus oleh zaman yang semakin maju.
Mau merasakan keramahan jogja? datang ke pasar-pasar
yang ada di jogja


Buat saya sebagai seorang perantau, melihat jogja saat ini adalah melihat miniature Indonesia. Bagaimana keberagaman yang ada di Indonesia itu ada di Jogja. Jogja tidak pernah melarang saya yang berasal dari Banten untuk menggunakan bahasa kejawen. Namun, saya memang sudah sewajarnya mempelajari bahasa yang ada disini. Agar interaksi dengan masyarakat sini pun tidak terlalu sulit. Mempelajari bahasa bagi saya adalah mempelajari tradisi yang ada di tempat kita tinggal.

Kamu berasal dari ujung timur Indonesia? Atau berasal dari ujung barat pulau Sumatera? Silahkan, jogja akan selalu membukakan pintu bagi siapa saja yang ingin datang ke jogja dan mencari ilmu di jogja. Jogja selalu menunjukkan ke-istimewaannya dengan membuka pintu kepada siapa saja yang ingin mencari ilmu, bahkan untuk mereka yang hanya sekedar ingin berwisata.

Di jogja, tidak ada manusia yang menjadi minoritas. Semua bahkan menjadi prioritas. Tergantung bagaimana kita memposisikan diri. Tidak ada perbedaan suku, ras, bahkan agama di Jogja. Bahkan seluruh kepercayaan yang ada di Indonesia ada di Jogja. Maka dari itu, menjadi Jogja, menjadi Indonesia. Dimana jogja menjadi kota yang tumbuh dengan segala ke-istimewaannya dan tempat bernaung orang-orang seperti saya dan ribuan orang lainnya yang ingin merasakan bagaimana keistimewaaan jogja yang sesungguhnya. Karena Lari Ke Jogja jadi pilihan teristimewa bagi saya.

Jan 10, 2017

Memaknai (tentang) Waktu

Semenjak masuk awal semester 5 ada beberapa pesan yang isinya mengundang gue untuk hadir pada sebuah acara sakral; pernikahan. Iya, beberapa temen seperjuangan gue sudah memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan menikah bersama orang yang dipilih. Ada temen deket, temen kelas, bahkan dari temen yang cuma sekedar kenal aja. Isinya? ya berharap gue (khususnya) untuk hadir di acaranya.

Terakhir gue dapet pesan kaya gini (di grup kelas jaman sma):

"Nama-nama yang tercantum di foto, undangannya ada di gue ya. 
Jangan lupa hadir di pernikahan temen kita"

Kira-kira begitulah isi pesannya. Dan itu menjadi dua bagian dari kabar. Yang pertama, kabar bahagia, iya gue bahagia karena sedikit demi sedikit temen-temen gue sudah di/meminang calon jodohnya. Kedua, kabar sedih, iya karena gue sadar kalau umur gue bukan umur yang masih pantes buat main-main di dunia; soal jodoh. Ngeri gak sih saat kita denger temen kita mau menikah? emang itu kabar baik karena menandakan temen-temen gue sudah menemukan jodohnya. Buat gue? ngeri dan jadi motivasi sih. Biar cepet nyusul gitu hihihi.

Sedikit melenceng dari persoalan menikah dan dinikah-kan. Karena ini sama seremnya (dan) atau bahkan lebih serem dari apapun. Soal skripsi. Belakangan gue sering mendengar pernyataan "Kabar Buruk/ Kabar jelek" atau yang lebih menyentil telinga gue adalah "itu menyinggung perasaan". Bayangin aja, ditanya soal skripsi, beberapa mahasiswa tingkat akhir secara refleks menunjukkan rasa ketidaksukaannya. Serem kan?
Loh, kok bisa sih dibilang serem? bahkan sampai menyinggung dan jadi pertanyaan yang paling tidak ingin didengar? Jawabannya sederhana ternyata; tekanan dan ini soal waktu. Buat kita yang punya target dan atau ditargetin baik itu sama orang tua, sama pacar atau calon istri, atau calon mertua bahkan. Apalagi sampe nanyain "Gimana Skripsi kamu? Udah sampe mana skripsi kamu? Kapan sidang skripsi?" Mungkin, kalau (mereka) mendengar pertanyaan seperti itu rasanya ingin men-cekek atau bahkan ingin berdoa "Ya allah musnahkan lah manusia yang bertanya soal skripsi" Hih, serem.

Soal nikah atau soal skripsi jadi dua hal yang menyita waktu saat kita menuju usia 23 sampai seterusnya. Walau pertanyaan itu sederhana, tapi rasanya itu jadi pertanyaan yang cukup pahit, atau paling pahit di dunia ini. Iya, karena dua hal itu cukup menyita waktu kita untuk berfikir dan cukup bikin pergolakan yang cukup panas di dalam hati. lebay? coba rasakan sendiri sensasinya.

Gue ingin mengajak kalian untuk memutar waktu kita. Kembali pada masa dimana masa itu buat banyak orang adalah masa yang paling indah, Masa SMA. Benerkan indah? Apa coba yang bikin kalian merasa masa itu paling indah? Temen? Guru? atau cerita kisah kasih kalian di masa abu-abu? Ternyata, apapun kenangan kita; gue dan kalian, di Sma memang punya kenangan yang cukup indah. Banyak hal sih yang bikin kita punya kenangan indah di Sma. Tapi, ternyata engga semua dari (kita) menikmati masa-masa sma atau masa yang lebih muda dari masa kuliah. Ada yang kalau ngeluh bilang gini

"KOK SMA NIH LAMA BANGET YA?"

terus dibales sama yang kuliah kaya gini:
"KULIAH ITU ENAK LHO, MASUK JAM 7 PULANG JAM 8"

"KULIAH ITU ENAK LHO, GAK ADA RAZIA RAMBUT. MAU GONDRONG? SILAHKAN!"

 "Sumber: om gugel" 

Terus dibales sama mereka yang udah masuk ke semester 5 dimana bagi gue dan beberapa mahasiswa lainnya yang sudah melewati semester 5 sepakat bahwa semester 5 itu semester yang penuh perjuangan baik secara lahiriah maupun batiniah. Bahkan, saking kerasnya perjuangan di semester 5 sampe ada pernyataan seperti ini:

"RASANYA PENGEN NIKAH AJA DARIPADA HARUS MASUK KE SEMESTER 5"


"Sumber: om gugel" 

 
Gue adalah salah satu manusia yang kurang menikmati setiap momen di waktunya. Tapi, bukan berarti tidak memaknai nya. Buat gue, waktu itu berjalan sangat cepat kalau kita menikmatinya. Mecari ilmu baru, pengalaman yang cukup mengasyikan, dan segala sesuatu yang menyenagkan jadi cara yang cukup positif untuk memaknai waktu kita. Bener kata pepatah "kesempatan itu gak datang dua kali, karena waktu berjalan maju" 

Terus, gue menyesali waktu yg udah lewat? engga. Justru gue memaknai waktu yang sudah berlalu itu sebagai kenangan kalau yang baik, indah dan lain sebagainya. Kalau waktu yang sudah berlalu itu kurang baik? Jangan dilupain, tapi dijadikan pelajaran berharga untuk waktu kita yang akan datang. Karena waktu gak bisa diputer kebelakang, itu cuma punya Doraemon. Dan itu cuma di TV."  

 Kalau kamu, memaknai waktunya kaya gimana? Yuk Share di Comment Box :D 
Selamat Membaca.