Dec 28, 2014

Mengenang Tsunami Aceh

24 Desember 2004 lalu, umur gue baru 10 tahun. Umur yang masih unyu-unyu untuk mengetahui hal apapun yang ada di dunia ini. Gue belum ngerti gimana caranya buat diri gue sendiri bahagia, belum ngerti gimana masalah hidup itu ada, bahkan dengan cobaan hidup. Gue belum ngerti gimana tanggal, bulan, dan tahun itu meluluhlantahkan bumi Aceh. Gue belum ngerti gimana dulu gelombang besar yang namanya Tsunami itu berhasil meluluhlantahkan hampir sebagian dari Aceh. Bencana alam yang termasuk kategori luar biasa dari sebelumnya. hampir 200.000 jiwa yang menjadi korban. Bukan cuma Aceh yang merasakan bagaimana dahsyatnya Tsunami hasil dari Gempa 9,0 SM ini, negara-negara tetangga seperti Thailand, Sri lanka, bahkan sampai ke Maladewa juga kena dampaknya. Dari beberapa sumber yang gue baca, bencana ini merupakan bencana yang paling hebat dari bencana sekelas letusan Gn. Krakatau.

Aceh menangis, Indonesia menangis, sampai seluruh dunia pun ikut menangis melihat banyaknya korban jiwa yang berjatuhan. Hati seluruh manusia di seluruh penjuru dunia merasakan duka yang begitu mendalam setelah bencana ini. Dengan waktu yang singkat bantuan terkumpul dari berbagai penjuru dunia. Dari berbagai kalangan.

Gue sendiri waktu itu cuma menyaksikan bencana tersebut lewat televisi. Yang gue inget sekarang adalah pagi itu, 10 tahun yang lalu gue lagi asik nonton tv dirumah. Mungkin, itu juga yang lagi dilakukan korban tsunami Aceh. Gue dapet kabar dari salah satu stasiun televisi swasta kalau di Aceh abis gempa 9,0 SM. Dulu, gue juga belum ngerti gimana gempa itu. Bahkan setelah gempa itu terjadi tsunami, gue belum juga ngerti gimana tsunami itu. Karena yang gue lihat tsunami itu sama kaya banjir biasa. Cuma bedanya tsunami datangnya dari laut.

Waktu itu emang gue masih polos-polosnya. Tetangga sibuk ngumpulin bantuan pun gue dengan senang hati cari bantuan buat sodara-sodara gue di Aceh sana. Jauh Aceh itu. Sampe sekarang pun gue belum pernah menginjakkan kaki disana. Cuma lewat peta aja gue tau kalau Aceh itu ada di ujung barat negeri. Setelah beranjak dewasa, sedikit demi sedikit gue mengerti bagaimana peristiwa itu terjadi. Bencana yang sungguh dahsyat. Porak poranda, hancur terbawa air bah tsunami, sampai keluarga yang dicintai pun hilang ditelan gelombang besar. Gue sendiri pernah terfikir bagaimana hal itu terjadi ke keluarga gue. Mungkin gue engga sekuat mereka dalam menghadapi ujian tuhan ini.

Gue cuma pernah denger kisah itu dari salah satu temen gue pas pesantrenisasi di kampus. Temen gue itu asli meulaboh dan dia sekarang hidup dengan ibunya. Dia kehilangan seluruh keluarganya. Untuk menceritakan kejadian itu dia engga mampu. Sebenernya gue juga engga mau nanya soal luka lama. Tapi, gue pengen tahu bagaimana dahsyatnya tsunami itu.

Dari situlah gue ngerti tentang arti kehilangan yang sesungguhnya. Bagaimana kita baru menyadari suatu hal apabila telah kehilangan sesuatu tersebut. Mungkin benar bagi sebagian orang yang kuat karena segala sesuatu itu hanya titipan dari tuhan. Tapi, tuhan engga mungkin mengambil sesuatu begitu saja tanpa melihat bagaimana kita berusaha keras menjaga sesuatu tersebut.

Gue lihat berita, baca koran tentang ada ibu yang terseret arus tsunami sambil menggendong anaknya, ada kakak yang berpegangan erat bersama dengan adiknya walau orang tuanya sudah hilang terbawa arus. Hal ini membuktikan bahwa mereka tidak ingin kehilangan sesuatu yang berharga, keluarga. Kalau sudah kehilangan, mustahil untuk kembali lagi, mustahil untuk hidup lagi, mustahil untuk kembali bersama lagi tertawa bersama, marah, dan menangis.

Sekarang, sudah satu dasawarsa bencana yang menghancurkan Aceh itu berlalu. Kini, Aceh mulai bangkit dan kembali bergeliat. Para korban yang masih hidup tangguh menghadapi cobaan selama ini. Bangkit untuk lebih baik. Aceh percaya bahwa Aceh tidak hanya sendiri menghadapi musibah ini. Mata dunia  seolah terketuk untuk bersama-sama membangun Aceh. Sekarang, Aceh sudah terlihat lebih tersenyum dari sebelumnya. Mereka bangun bersama menghilangkan tetesan air mata yang dulu selalu terlihat. Menangis tidak akan mengembalikan keluarga mereka. Menangis tidak akan membuat Aceh menjadi sedia kala. Kini, Aceh lebih tersenyum. Lebih indah dan lebih damai dari sebelumnya.

Mengenang bukan harus bersedih melihat masa lalu, mengenang hanya untuk mendoakan mereka yang telah pergi terlebih dahulu. Tangis air mata bukan berarti lemah, tangis air mata menunjukkan bagaimana rasa itu ada. Satu doa dari gue untuk Keluarga, Aceh, dan seluruh Indonesia agar tuhan selalu menjaga setiap langkah orang-orang yang ada di sekitar. Dan tuhan selalu memberikan kekuatan untuk kami.

Bangkit terus Aceh. Tunjukkan kalian bisa terus dan akan terus tersenyum

0 comment: