Oct 31, 2016

Bukan (Jadi) Alasan

Malam ini gue membaca sebuah postingan salah satu dosen gue di kampus. Isinya adalah tentang mahasiswa yang jadi tanggung jawab dosen gue ini. Dia ingin mengundurkan diri dari kampus. Bukan karena masalah finansial, bukan juga engga mampu kuliah, tetapi hanya karena alasan kurang motivasi kuliah. Gue agak sedikit menggeleng-gelengkan kepala aja bacanya. Bahkan gue cenderung pengen nyolok dua mata dia yang ngundurin diri dari kuliah cuma karena kurang motivasi buat kuliah. Terus sambil teriak di depan muka sama di depan orang tuanya "ELO KURANG BERSYUKUR."

Gue selalu membenci mereka yang punya 1001 alasan untuk tidak kuliah. Dari alasan yang cukup banyak kemudian akan mengerucut menjadi satu alasan yang sangat begitu klasik "Aku Malas kuliah karena kurang motivasi." 


Buat gue, kurang motivasi itu bukan jadi alasan terbesar untuk menyelesaikan tanggung jawab kita di kampus. Kuliah udah jadi tanggung jawab diri kita. Orang tua cuma menitipkan mandat dan berusaha mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk membiayai anaknya sekolah. Harapan kedua orang tua bahkan cenderung sederhana. Hanya Ingin Anaknya Memiliki Pendidikan lebih baik. Bukan mengarapkan anaknya kelak saat sudah sukses lalu harus mengganti semua biaya yang sudah dikeluarkan orang tua untuk anaknya, bukan itu. Orang tua mana sih yang gak bangga punya anak dengan pendidikan yang tinggi apalagi kalau kelak anaknya jadi anak yang begitu sukses. Dan orang tua mana yang tidak kecewa saat anaknya mengatakan "Mah, pah aku ingin berhenti kuliah. Aku kurang motivasi untuk kuliah." Pasti kecewa. Kecewa berat orang tua mendengar permintaan anaknya itu.
Bukan pengen membandingkan antar semuanya. Gue merasa kok orang-orang yang kaya gitu adalah orang yang kurang banyak bersyukur. Bayangin aja kalau hidup kita semua begitu difasilitasi kedua orang tua kita. Kita pengen sekolah dimana aja diturutin, kita mau beli apa aja dibeliin, bahkan kita punya harapan dan keinginan apapun bakal diwujudin. Harunsya, orang yang seperti ini (sedikit) diasingkan dengan melempar dia jauh dari kehidupan nyata yang serba (ke)enak(an). Harus banyak belajar soal hidup. Terutama dari orang-orang yang ada jauh di bawahnya. 

Bayangin kalau elo punya hidup terbalik. Jangankan buat kuliah di kampus swasta yang paling top, buat makan aja elo harus banting tulang sana sini. Demi makan. Atau mungkin kedua orang tua elo berantakan dan itu buat elo harus milih mau hidup sama siapa (?). Dan bahkan elo hidup dari banyak tuntutan.  Tuntutan buat cepet kerja biar bisa punya penghasilan sendiri atau buat ngidupin adik dan orang tua elo. Gimana? 

Sebenernya sih simple. Kita perlu belajar tiap detiknya sama kehidupan. Kita belajar bukan sama yang diatas kita, tapi belajar sama yang berada di bawah kita. Belajar juga untuk membalik hidup kita dan selalu ucapkan "gimana kalau aku kaya dia." Motivasi terakhir sudah gue tanamkan setelah gue mendapatkan berbagai macam pengalaman kehidupan yang (mungkin) gak bakal dialami sama semua orang. Buat gue, bukan jadi sebuah alasan kalau berhenti menyelesaikan study atau kuliah kita hanya karena alasan sepele, kurang motivasi kuliah. Agaknya, kita harus cepet-cepet belajar bersyukur sedikit demi sedikit biar punya motivasi lebih buat kuliah. Semangat ya dek, jalan kamu masih panjang. Ini bukan tentang kuliah, apalagi soal motivasi. Ingat, waktu terus berjalan kok.

Oct 30, 2016

Menghargai Sebuah Karya

Cerita ini mulai gue susun dari Agustus 2016. Dimana gue melihat sebuah tweet dari Mr. Pandji Pragiwaksono yang akan melaksanakan World Tour keduanya. "Juru Bicara" Mr. Pandji memberi nama Tour nya. Dan gue tau kalau Juru Bicara di bulan agustus ini bakal diadain di Yogyakarta, kota yang sekarang jadi tempat gue untuk menuntut ilmu. Sebenernya, gue sudah mempersiapkan untuk hadir di acara tersebut saat pandji mulai memberi sedikit bocoran kalau Juru Bicara bakal diadain di Jogja bulan Agustus. Exicted, iya gue begitu penasaran dengan Tour Stand Up nya pandji. Gue sudah melewatkan tour yang sebelumnya, messake bangsaku. Sedih, iya, karena gue tau dia adalah orang yang begitu cerdas dalam berkomedi.

Tapi, Juru Bicara Yogyakarta juga gagal buat gue satroni. Pas banget waktu itu gue ada kerjaan jadi bagian dari Dieng Culture Festival. Dua acara yang gak akan bisa di lewatkan. Gue sudah melewatkan 3 kali DCF di tahun-tahun sebelumnya Dan saat ada kesempatan itu gue harus ambil. Bukan sebagai peserta, tapi sebagai orang yang langsung terjun di acara tersebut. Begitupun dengan gagalnya gue nonton Juru Bicara Pandji di Yogyakarta. Sedih.....

Sempet kefikiran buat hadir di Juru Bicara Jakarta Desember nanti. Tapi, dengan berbagai macam pertimbangan-pun gue batalkan. Sebenernya masih ada beberapa kota lagi yang bakal Juru Bicara datengin. Ada Jakarta, Balikpapan, Makassar, dan Surabaya. Kayak mau ngasih sedikit kejutan apalagi soal berapa tiket yang nanti bakal gue keluarkan untuk sebuah World Tour. Yang ada di otak gue, gue harus bayar mahal untuk tour stand up yang keliling dunia. Tapi, menurut gue itu gak masalah. Selagi kita punya tujuan untuk menghargai karya seseorang. Mungkin benar kata pepatah perlu ada harga yang pantas, untuk sebuah karya yang sudah mendunia. Buat gue, Pandji jadi satu-satunya pelawak yang udah pernah keliling Indonesia bahkan keliling dunia. Pantes kalau mas Pandji sering membanggakan dirinya yang jadi satu-satunya pelawak Indonesia yang pernah Tour Keliling Dunia.

Surabaya ternyata jadi pilihan gue untuk menikmati karya yang maestro Stand Up yang membahas Sosial Politik. Yang gue lihat di televisi, Pandji bukan jadi seorang komika yang lucu dengan tema beratnya. Dia cenderung serius dengan segala jenis tema yang dia bahas. Gue sempet youtube cuplikan-cuplikan dia lagi stand up. Tapi, setelah gue baca beberapa bukunya yaitu "Nasional Is Me, Berani Mengubah, dan Menemukan Indonesia". Yang buat gue tercengang adalah, Pandji mungkin jadi satu-satunya komikus yang begitu mencintai Indonesia dengan segala keterbelakangannya.

Balik lagi soal Juru Bicara, Gue telah menyelesaikan beberapa persiapan menuju Surabaya. Dari mulai tiket show, sampe tiket kereta dan tiket akomodasi selama disana. Dan gue juga bakal punya pengalaman super keren karena gue pertama kali bakalan nonton standup dengan standart dunia. Pasti ini bakal jadi pengalaman yang super keren.

Sampai di Kota Surabaya saat peringatan sumpah pemuda, 28 Oktober 2016 semakin buat gue yakin kalau Pandji tidak salah memilih Surabaya sebagai destinasi berikutnya. Tinggal tersisa 3 kota lagi di Indonesia.Ada Jakarta, Makassar, dan Surabaya yang tentunya jadi pilihan gue.

Awalnya gue merasa sedikit kecewa. Gue agak sedikit kecewa sama panitia dalam pemilihan tempat acara. Kenapa Show sekelas WORLD TOUR harus ditempatkan di gedung(yang) bisa dibilang kaya gedung serba guna yang biasa dipake nikahan. Kenapa? karena pas gue dateng buat penukaran tiket, siangnya ada nikahan. COCOK. Agak sedikit gue bandingkan dengan harga tiket yang sama dengan kota yang gagal gue tonton, Yogyakarta. Dengan harga tiket yang sama, gue bisa menyaksikan Show bertaraf dunia di sebuah auditorium yang memang diperuntukkan show kelas atas. Tapi Surabaya tidak. Gue nonton di gedung nikahan + kursi kaya wisudaan, udah gitu gerah lagi. Gak kaya di jogja. Kalau gak pecaya bisa cari lewat om gugel.

Tapi, setelah show mulai kekecewaan gue soal teknis mulai mereda. Dibuka oleh Opener Comic dari Ngawi yang cukup menghibur meskipun jokes nya kurang nyampe. Not bad lah buat seorang Opener Lokal. Dilanjut sama perform Indra Frimawan yang punya label juara 3 salah satu kompetisi stand up comedy. Indra juga cukup buat seisi gedung ketawa ngakak. Meskipun gue engga terlalu ketawa saat denger jokesnya. Dan, Akhirnya yang gue tunggu naik ke atas panggung. Pandji PRagiwaksono memulai show dengan ciamik. Dia buka dengan sedikit membahas jokes dari opener kedua.

Sepanjang Show, Pandji menurut gue mampu membawa suasana penonton yang ada malam itu jadi cair meskipun tema yang ditawarkan lumayan berat. Gue baru pertama kali denger dan liat show stand up dengan tema yang bahas tentang RATING, HAM, KERUSAKAN ALAM, Bahkan sampai SEX EDUCATION dan PENDIDIKAN INDONESIA yang dirasa belum mampu mengatasi semuanya. Iya Gue banyak sependapat sama apa yang Pandji bawakin malam itu. Meskipun ada juga gue gak sependapat.

Dan yang paling gue inget dari show Pandji 29, oktober 2016 adalah soal KARYA. Dimana bangsa ini masih takut untuk memulai menjadi seorang (Pe)Karya dan berhenti menjadi (Pe)Kerja. Gimana caranya Pandji cuma ngomong harus berkarya tapi kita sendiri takut buat berkarya? Bisa aja kan kita ikut seminar-seminar motivasi yang bikin kita makin percaya diri buat berkarya dan memasarkannya ke penikmat dengan pede. Sayang, bukan itu jawabannya. Sedikit Lebih Beda, Lebih Baik. Daripada Sedikit Lebih Baik. Intinya, karya kita itu harus beda. Mungkin buat yang dateng ke Show nya Pandji akan mengamini dan membenarkan statement ini.

Begitupun soal HAM dan Rating TV. Kita perlu data kongkrit soal ini. Gak semua orang bisa ngomong soal HAM kalau kita gak tau bahkan gak jadi saksi nyata di tempat kejadian. Begitupun dengan Rating. Mungkin hanya mereka yang berada dibalik layar televisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tentunya belajar soal ini yang bakal tau soal permainan rating yang ada di Tv. Gue mengamini dan setuju soal rating ini karena gue belajar dan sedikit mengkaji soal Rating.

Intinya, semua pengalaman baru ini juga membuka wawasan gue yang selama ini masih bisa dibilang sedikit. Kita masih perlu banyak membaca buku, membaca kehidupan dari pengalaman. Biar kita gak merasa terus di-begoin. Apalagi sama mereka-mereka yang punya kepentingan lebih disana. Seengaknya kita tau harus ngapain. Kalaupun harus teriak kita tau harus teriak kemana.

Menurut gue, menghargai karya orang lain akan membuat kita belajar bahwa berkarya itu cukup sulit. Kalau gagal dalam berkarya jangan gampang menyerah, jadilah beda. Karena berkarya gak cukup sekali. Perlu belajar dan belajar untuk terus berkarya. Good Job Mr. Pandji!

Oct 20, 2016

(Penting) kah Share Sesuatu Di Sosial Media?

Nas, kok elo gak ada di path?
Nas, kok elo gak temenan lagi sih sama gue di path?
Nas, kenapa elo delete pertemanan di path?

Jadi gini, Pertanyaan diatas beberapa hari belakangan ini sering gue dapatkan. Pertanyaan-pertanyaan yang sama dan intinya kenapa gue menghilang dari path. Udah hampir sebulan ini gue mulai menarik diri dari beberapa sosial media yang gue punya. Diawali dari Path yang gue punya. Gue memutuskan untuk berhenti bermain path karena beberapa hal. Dan beberapa hal itu yang buat mikir kenapa dulu gue terjerumus menggunakan path. But its okay, gue jadi tahu dan mengerti fungsi dari beberapa sosial media yang gue punya. Yaaa, gak katrok-katrok amat lah ya gue ini.
Source: prezi.com

Banyak yang bilang kalau gak punya sosial media jadi salah satu kemunduran. Maksudnya adalah kemunduran yang ada ditengah majunya teknologi sekarang ini. Bayangin aja, di dunia yang serba banjir informasi ini kita di tuntut untuk menjadi seorang manusia yang up to date. Iya, gue harus tau semua hal yang terbaru demi tidak mengalami sebuah kemunduran di era dunia informasi yang cepat ini.

Balik lagi ke persoalan diatas mengenai kenapa gue mulai menghilangkan path dari hidup gue. Path jadi salah satu sosial media yang membagi berbagai hal yang kita lakukan di pertemanan yang cukup terbatas. Kita bisa menyeleksi siapa saja yang berhak tau kita lagi apa, lagi dimana, bahkan lagi sama siapa. Iya, path jadi sosmed yang cukup terbatas. Gak semua orang bisa tau kita lagi apa, dimana, dan sama siapa. Beda kaya sosial media lainnya kaya instagram, facebook, atau twitter. Saat kita update sesuatu di path yang tau cuma orang-orang yang jadi temen aja. Iya, gitu.

Di path, gue mulai menyadari bahwa gak semua hal yang di update itu nyata. Kenapa? karena gue pernah buat status yang fake demi memenuhi hasrat untuk update sesuatu. Misal, gue update lagu lagu galau. Terus gue galau? Jawabannya belum tentu. karena bisa aja gue update untuk eksistensi semata dari viewers temen-temen path gue juga. Selain itu, path jadi sosial media paling privasi. Hampir mirip snapchat. Kita bisa tau apa yang di update sama orang lain terutama temen kita sendiri. Nah, buat gue itu mengganggu privasi. karena bisa aja orang berfikiran tidak baik saat kita check in di suatu tempat. Bakal ada omongan-omongan kurang baik saat kita di dunia nyata ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada di dunia maya kita.
Source: maxmanroe.com

Gue menghilangkan path dari koleksi sosial media gue karena gue engga mau kalau hidup gue diikuti rasa suudzon yang berlebihan. Kaya gini;

iih, kok dia bisa jalan sama pacarnya sih. Padahal dia bilang ke gue lagi gak punya duit
atau
itu, dia lagi di tempat itu. Padahal dia bilang ada urusan penting.

Terusik gak kalau denger kata-kata itu? dan itu dialamin sendiri? Iya, gue pernah mengalami itu. Bener kalau kata-kata "Jangan liat orang dari update-an dunia mayanya. Karena itu gak sepenuhnya benar". Iya bener, bisa aja kan dia update di sebuah tempat karena suatu hal yang emang penting. Atau emang urusannya dilakuin di tempat tersebut. Kita gak pernah tau, karna kita gak ada di tempatnya langsung.

Selain itu, path juga jadi ajang share untuk pamer berbagai macam hal. Misal, saat gue lagi makan di tempat yang mungkin bagi sebagian orang adalah tempat yang cukup mewah. Atau gue update di salah satu tempat wisata yang mungkin bagi sebagian orang gue adalah orang kaya yang sering buang-buang duit karena sering jalan-jalan. Padahal, bisa aja gue check in di tempat wisata itu karena gue lagi kerja.


Makanya, gue mulai memikirkan untuk tidak men-share semua hal yang harus gue share di setiap sosial media yang gue punya. Gue juga butuh privasi untuk diri sendiri bahkan kehidupan pribadi. Gue mau pergi kemana aja itu urusan gue tanpa harus dihantui oleh mereka-mereka yang usil dengan kehidupan orang. Atau bisa aja update-an gue jadi salah paham bagi beberapa pihak yang kurang menyukai gue. Nah, mulai sekarang gue mengurangi konsumsi sosial media gue. Gue jad berfikir untuk kembali pada 5 tahun kebelakang, dimana sosial media bukan jadi prioritas utama orang lain untuk menilai sesama. 

Karena pada dasarnya, menilai orang lain tidak cukup hanya dari akun-akun sosial media yang dimilikinya. Namun, nilai lah sesuai dengan pendekatan diri yang dilakukan. Sehingga hidup kita tidak dipenuhi rasa suudzon yang berlebihan. Jadi, perlu kah share setiap momen hidup yang kamu lakukan di sosial media kamu? Hmm, fikirkan ulang. 

Oct 4, 2016

Menghapus Sepi Di Dunia Maya

Malam ini gue sedikit terganggu dengan Grup wa dari salah satu program training yang gue ikutin. Kenapa? Karena ada satu orang yang sering muncul di grup ini dan selalu bikin berisik. bahkan dia sampai bilang gini;

"Grup Sepi Banget Soalnya"

adalagi di grup line smp gue juga tipe-tipe manusia yang sering caper di grup dengan hal-hal yang kurang penting. Mungkin niat dia mulia, hanya ingin meramaikan dunia per-grupan. Entah ada berapa belas bahkan puluhan lebih grup yang dia chat dengan kata-kata "Duh, grup nya sepi yaaa". Sebenernya tulisan ini gue buat bukan untuk menyindir siapapun. Sebelum terlalu jauh, gue minta maaf kalau ada yang merasakan hal seperti ini. Karena hidup gue (mungkin) bisa ditentukan dari blog ini. ehe ehe.

Semenjak era internet masuk ke Indonesia, perkembangannya begitu pesat. Sekarang, tahun 2016 ini semakin banyak bermunculan berbagai macam start-up yang menyediakan berbagai macam kemudahan. Dari aplikasi yang bisa gue gunakan untuk cari makanan hingga aplikasi yang menyediakan pasangan (sesama) jenis yang itu jadi hal yang paling menjijikan. Jualan diri sekarang bisa lewat aplikasi. Bahkan untuk yang sejenis. hmmm, tanda akhir jaman. 

Gak usah peduliin soal aplikasi diatas, karena gue yakin Indonesia masih cukup pintar dan cukup memiliki nurani untuk (masih) saling mencintai lawan jenisnya. Yang gue pengen bahas disini adalah cara menghapus kesepian yang kita rasain di Dunia Maya. Kenapa Maya? Karena orang-orang yang sering mencurahkan kegelisahan, keseipian, dan lain sebagainya di social media hanya untuk berbicara dengan mereka yang akan sangat jarang ditemui. Bahkan saat bertemu di dunia nyata pun ternyata tidak sama dengan apa yang dilakukan di dunia maya.

Gue sedikit punya cara buat kalian yang (masih) merasa kesepian di dunia maya atau di dunia sosial media yang kalian miliki. Kalau chat antar personal sih itu bukan jadi keresahan. Karena chat antar personal sudah akan jelas respon yang akan diperoleh. Beda kan kalau kita nge chat di grup gak jelas bahkan cenderung gak penting itu gimana responnya? Cuma banyak yang baca tapi sedikit yang bales. Nah, daripada sedih chatnya gak ada yang tanggepin atau bales di grup. Mending cari kegiatan deh biar gak disangka kesepian gitu. Jangan buat diri kita dianggap selalu merasa kesepian oleh orang lain. Gue gak peduli di dunia nyata punya banyak temen atau engga. Gini nih caranya:

1. Cari Kegiatan Cadangan Setelah Kegiatan Utama Berakhir

Mencari kegiatan cadangan setelah kegiatan utama berakhir sering gue lakuin. Biar apa? biar gue engga merasa hidup gue kesepian dan begitu membosankan. Misal, kalau kegiatan utama gue kuliah dari jam 7 pagi sampe jam 6 sore udah selesai gue bakal cari kegiatan lainnya setelah itu. Bisa tidur, makan, ngerjain tugas, salto, belajar terbang juga bisa. Yang penting gue engga merasa hidup gue membosankan. Apapun deh kegiatannya, Tapi Positif loh yaa!!

Percaya atau tidak, mencari kegiatan cadangan cukup ampuh mengusir rasa sepi kita. Ketimbang mainin gadget dan melakukan senam jari secara terus menerus. Atau parahnya, cuma bolak balik menu aja abis itu cek pulsa. 

2. Sering Membaca dan Menonton Film

Mencari kegiatan cadangan gak melulu aktivitas yang berat. Bisa juga cari aktivitas yang bisa jadi hobi baru tuh. Gue mungkin belum addict banget sama baca dan menonton film. Kemarin aja pas ada tugas resensi dari sebuah film gue malah lebih nyaman ngorok. Tapi, itu lebih baik daripada kita cuma mengharapkan respon dari teman-teman grup yang kita punya. Daripada sedih kan cuma di read mending baca buku atau yang lain. Nonton film juga bagus. Karena kedua kegiatan ini bisa menambah pengetahuan kita biar gak disitu-situ aja. Asik kan?

3. Menyibukkan Diri

Menyibukkan diri adalah cara yang sering gue lakukan. Memang point nomor 1 diatas juga soal kesibukan. tapi cari kesibukkan yang bener-bener bermanfaat buat diri kita. Kalau tidur ternyata lebih bermanfaat buat kita kenapa kita gak tidur aja kan. Daripada kita mengganggu ketenangan orang lain. Bisa juga menyibukkan diri dengan hunting tempat makan enak yang bisa bikin lemak di tubuh kita bertambah dan bisa bikin dompet kita makin kering kaya ikan asin. Selagi itu bisa membuat diri kita sibuk dan melupakan sejenak dunia maya, kenapa tidak. Tetep asik kok.

Jangan perduliin omongan orang yang selalu bilang Kamu Terlalu Sibuk Dengan Hidupmu!. Iya, gue emang sibuk cenderung menyibukkan diri. Tapi, gue merasa punya nilai plus tersendiri terutama buat diri gue sendiri. Kalau mahasiswa kebanyakan lebih suka mencari kesibukkan setelah lulus kuliah, gue engga. Jujur aja, gue bakal ngerasa badan gue sakit saat gue cuma diem aja di kos. Gue lebih senang menyibukkan diri di luar. Jalan keluar kota, Belajar di tempat baru, bahkan daftar training sana sini. Gunanya apa? Selain nambah pengalaman, gue juga mau nambah jam terbang. Biar pas gue lulus nanti surat lamaran kerja gue bukan cuma diisi sama mengkilapnya ijazah. Tapi juga diisi sama kesibukkan yang juga nambah pengalaman. Karena perusahaan manapun bakal lebih sering nanya

"Berapa lama kamu menghabiskan waktu mu untuk beraktifitas diluar?" 

Daripada menanyakan,

"Berapa lama kamu menghabiskan waktu di depan layar Handphone mu"

atau bahkan,

"Berapa banyak waktu yang kamu habiskan untuk menunggu balasan pesan dari Grup-mu?"

Gak mungkin!   

Oct 2, 2016

Jangan Malas Menggali Bakat Yang Kita Miliki

Belakangan, banyak suara yang masuk ke telinga gue, bilang kaya gini;

"Nas, Kok elo sibuk banget sih jarang di kos?"
"Nas, Kok elo cuma sebentar sih kalau di kos?"

dan ada juga
"Nas, elo nih sibuk banget sih...."

Menurut kalian, gimana kalian merespon pertanyaan dan pernyataan yang bilang kalau (kita) sibuk? Buat gue, jawabannya sederhana. Karena gue adalah orang yang gak pernah bisa membiarkan waktu begitu saja tanpa mengerjakan sesuatu hal apapun. Terdengar naif memang. Tapi, ada yang kurang kalau gue cuma membiarkan waktu lewat begitu saja. Apalagi cuma buat dihabisin sama hal-hal yang kurang begitu jelas faedahnya. Kurang jelas deh manfaatnya buat diri sendiri.

Dulu, awal-awal kuliah gue begitu menikmati masa dimana gue menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah - Pulang - Kuliah - Pulang). Hampir beberapa semester gue merasakan siklus itu. Lama kelamaan gue merasa bosan. Bayangin aja kurang lebih 9-10 jam gue menghabiskan waktu di kampus. Sisanya? ya buat ngerjain tugas dan istirahat aja. Setelah masuk semester akhir, gue mulai merasakan sebuah kebosanan yang begitu menyerang ulu hati *ini lebay*. Gue yang di semester akhir ini masih merasakan kuliah 14 sks mulai merasa aktivitas gue setiap hari nya begitu membosankan.

Dari Sma sampe sekarang gue begitu mencintai segala sesuatu yang berbau dengan fotografi. (Dulu) waktu gue masih punya kamera pendukung, tiada hari tanpa melewatkan hunting sekalipun. Entah itu hunting dimana dan dengan siapa. Gak peduli ada penghambat atau engga. Yang penting gue hunting foto demi menambah perbendaharaan stok foto yang ada di laptop. Karena gue mulai menyadari gue punya (sedikit) bakat di bidang itu. Dan sampe sekarang gue terus mengasah skill di bidang fotografi. Dari sekedar foto untuk memenuhi kepuasan sendiri hingga foto yang dapat menghasilkan receh untuk menambah pemasukan gue. 

Selain itu, kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi memang mendukung gue untuk terus mengembangkan diri di dunia fotografi. Meskipun kelasnya masih amatir. Tapi gue bangga, gue punya beberapa portofolio yang bisa gue tunjukin ke anak-anak gue kelak.

"Nak, ini karya ayah. Dulu pernah dapet juara 3 lomba foto nasional."
Foto ini jadi salah satu masterpiece karena sudah menghasilkan sebuah penghargaan.


Sombong? Gapapa sombong yang penting punya karya selama hidupnya. Meskipun karya itu cuma bisa di nikmati oleh diri sendiri. Daripada Sombong tapi gak punya karya satu pun. Atau lebih parahnya lagi gak punya karya tapi suka menghakimi karya orang lain dengan komentar-komentar jeleknya. Ya gitu deh manusia.

Balik lagi ke soal bakat diri sendiri, terutama bakat di diri gue. Ternyata baru gue sadari bakat tidak hanya muncul begitu saja. Bahkan tuhan tidak langsung menyuntikan bakat ke dalam diri kita dari bayi, bahkan saat masih embrio, atau saat orang tua kita baru merencanakan gaya apa yang akan digunakan *eh. Iya, bakat diri kita ya cuma kita yang bisa tentuin, bisa kita buat, dan bisa kita latih. Kalau mau punya bakat nyanyi dengan suara merdu ya berlatih supaya bisa nyanyi dengan suara merdu. Begitupun dengan bakat-bakat lainnya yang tercecer hampir di seluruh sudut di bumi ini. Kita memang punya bakat untuk berbicara. Tapi ingatkah saat kita masih kecil, kita dilatih untuk belajar berbicara oleh orang tua kita? dengan sabar mereka melatih kita untuk berbicara dari kata-kata yang sederhana.

"Ayah"
"IBU"

Dan banyak kata-kata lainnya. Lalu, seiring dengan berjalannya waktu kita tumbuh dan berkembang dalam berbicara. Baik dari segi kosa kata maupun nada berbicara. Dan seiring berjalannya waktu pula bakat berbicara yang dilatih oleh orang tua kita (dulu) menjadi suatu kebiasaan hingga sekarang. Begitu pun dengan bakat-bakat lainnya. Kalau kita malas buat mencari lalu mengasah dan melatih bakat yang ada tentunya sulit untuk tumbuh dan berkembang. Bahkan untuk menjadi sebuah bakat yang spesial. Jangan takut bakat yang kita miliki itu bakat yang gak spesial di mata orang lain. Dan, banggalah dengan bakat yang kita miliki saat ini. Jangan juga mudah puas dengan bakat yang sudah kita miliki. Jangan perduliin juga apa kata orang yang bisanya cuma komentar. 

Jadi manusia dengan seribu bakat yang berkembang itu mengasyikan daripada kita hanya punya satu bakat tapi hanya berhenti di titik yang sama. Atau bahkan kita tidak memiliki bakat dalam diri tanpa mau mencari dan mencari. Hmm, menarik. Kalau gue sih selagi masih diberi kesempatan untuk bernafas, dikasih kesempatan untuk melihat, dikasih kesempatan untuk berjalan gue bakal pergunain buat terus cari bakat yang sesuai dan bisa membuat diri gue semakin berkembang kedepannya. Selaat Bersahabat dengan Si Bakat!