Nov 8, 2014

Saat tugas dan Kesnian Jalanan

Agenda sore hari ini adalah mengerjakan tugas dari dosen. Belakangan ini tugas seolah menjadi teman hidup gue. Tugas selalu ada bersama gue dimanapun dan kapanpun. Thx wahai makhluk pemberi tugas.
Sumber : www.topulerkampus.com

Gue nulis begitu bukan karena gue mengeluh akan tugas yang selalu hadir dalam hari-hari gue. Malah gue sangat berterima kasih atas tugas yang diberikan. 

"Ah sok asik lo, masa dikasih tugas malah terima kasih. Itu kan beban bro..." Ucap salah seorang temen gue

Dengan sedikit memberi sinyal melalui senyum gue yang manis mungkin cukup menggambarkan jawaban atas dari pertanyaan diatas. Gak munafik memang bahwa setiap tugas yang dosen berikan kepada mahasiswanya itu memang sangat memberatkan. Bahkan secara bertubi-tubi tugas itu hilir mudik. Tak mengenal lelah dan pantang menyerah seolah ingin mengusik kebahagiaan gue bebas dari belenggu tugas. 

Rasanya mengeluh juga bukan jadi jalan terbaik. Mengeluh tidak membuat tuhan dengan begitu saja menyelesaikan tugas gue. Butuh secuil pengorbanan demi menyelesaikannya.

Birokrasi diatas merupakan sekelumit kisah dari curhatan para mahasiswa yang seolah memiliki sebuah langkah yang sangat berat. Dan tugas lah yang selalu membuat langkah hidup ini terasa berat. *ciee lebay*

Skip soal basa-basi gue diatas. Dan mulai saat ini gue mesti banyak berterima kasih kepada mereka-mereka para pemberi tugas (re : dosen). Kenapa gue bilang mesti berterima kasih kepada mereka ?

Jawabannya sederhana. Lihat sisi positifnya. Memang hidup ini kalau selalu dilihat dari sisi negatif akan terasa berat sekali. Namun, berbeda saat melihat hidup itu dari sudut yang ber-konotasi positif. Serba ringan kalau semua tugas itu selalu diambil hikmahnya.

Dan gue salah satu orang yang sedikit merasakan hikmah dari tugas-tugas yang ada.

Ceritanya, sore tadi gue ada tugas tentang Budaya Media Kreatif. Tugas ini dibuat secara berkelompok. Dan dalam kelompok itu belum ada satu orang pun yang gue kenal secara personal. Hanya sebatas mengenal identitas.

Dari proses pemilihan kelompoknya pun sangat berbeda. Biasanya, dosen akan memberikan kewenangan penuh terhadap mahasiswanya dalam memilih kelompok. Alasan yang diberikan mahasiswa pun sangat klasik. Dimana akan mudah dalam mengerjakan tugas apabila anggota kelompok sudah kita kenal sebelumnya. Apalagi satu kelompok dengan teman bermain sehari-hari. Kelompok mata kuliah ini pun berbeda. Kami hanya dipersilahkan memilih kelompok yang berdasarkan urutan no yang telah ditentukan sebelumnya dalam tempat yang juga telah dipersiapkan. 

Setelah pengundian kelompok tersebut ternyata nama kelompok yang gue dapet pun sangat asing untuk telinga gue. 
"Gilak sekelompok sama yang belum dikenal. Mau jadi apa kelompok gue. Gimana nilai gue kalau sekelompok sama yang engga dikenal dan blablabla". Itu adalah gerutuan gue pertama kali.

Tapi tapi semuanya ada hikmahnya ternyata. Gue baru sadar setelah kami memulai untuk mencari hal apa yang akan kami teliti. Dan tercetuslah ide bahwa kelompok kami akan meneliti salah satu "kesenian Jalanan". Dan kesenian jalanan itu adalah mereka yang mencari nafkah dan berseni melalui beberapa alat musik seperti angklung, bas drum, dan alat musik yang sebelumnya sudah di custom.

Setelah memiliki konsep yang cukup matang kami akhirnya menentukan tempat dan waktu dari pelaku seni jalanan tersebut. Mulanya gue dan kelompok gue ingin mewawancarai salah satu kelompok kesenian jalanan yang berada disekitran pom bensin antara jl sultan agung dan jl taman siswa. Sesuai dengan persetujuan kami akan mengerjakannya pada hari jumat sore.

Setelah semuanya berkumpul ditempat yang telah ditentukan, gue dan kawan-kawan kelompok langsung meluncur menuju tempat yang telah ditargetkan. Sore hari di Yogyakarta saat ini memang dikenal sebagai sore yang begitu sulit. Macet sudah mulai menjalar dimana-mana. Jangankan untuk mereka yang memakai roda empat, gue saja yang menggunakan roda dua masih sulit untuk memecah jalanan Yogyakarta yang sangat sangat padat. Gak beda jauh sama ibukota !! fiuh.

Hampir tiga puluh menit perjalanan yang cukup melelahkan karena macetnya jogja dan ternyata hasilnya nihil. Kami tidak mendapati para pemusik angklung jalanan itu ada disekitaran pom bensin jl. Sultan Agung.

"Sial." gumam gue

Tanpa basa basi kami langsung berdiskusi dan memutuskan untuk mencari para pelaku seni jalanan itu. Rencananya akan menuju sekitaran jalan Malioboro. Karena menurut kami jalan malioboro adalah tempat berkumpulnya berbagai macam manusia.

Belum terlalu jauh dari lokasi pertama yang telah membuat kami harus gigit jari ternyata ada sekelompok pelaku seni jalanan yang menjadi target kami. Dari jarak sekitar puluhan meter kami telah mendengar alunan musik yang sangat khas. Musik yang mungkin dengan genre yang kurang "jelas" entah itu keroncong, dangdut, atau apapun.

"Angklung Mahatama" Itulah yang akan menjadi target kami.
Kelompok Angklung Mahatama

Namanya juga mahasiswa. Masih malu-malu kucing untuk memulai pembicaraan. Beda hal kalau disuruh untuk memulai pembicaraan dengan kekasih hati sih hehe. Saling lempar dari kami siapa yang akan memulai. 

Setelah bertanya dari mereka yang sedang sibuk dengan alat musiknya masing-masing, kami di persilahkan untuk berbicara dengan manager mereka.

"Wuiih keren ada managernya, udah kaya band papan atas" 
Wawancara sama bu manager

Lupa gue siapa nama managernya, tapi managernya seorang wanita yang juga menjadi pasangan hidup dari pendiri angklung mahatama ini. Sebut saja dia Ryan begitu panggilan keren yang diucapkan oleh sang manager. 

Sudah 5 tahun Ryan bersama dengan teman-temannya menggeluti kesenian jalanan ini. Banyak suka duka yang mereka alami selama bergelut didunia mereka.

"Banyak duka nya mas, kita mesti pindah dari satu tempat ke tempat lain sebelum menetap(sementara) disini" Jawab sang manager dari beberapa pertanyaan yang kami ajukan.

Manager pun dengan lantang menjawab berbagai macam pertanyaan dari kami. Sudah seperti manager yang sangat professional dalam memegang artisnya. Lancar deh pokoknya.

Ada satu hal yang sedikit menggelitik kuping gue. Sang manager bilang bahwa mereka rencananya akan di-tiadakan oleh dinas sosial pada tahun 2015. Dinas Sosial menganggap bahwa mereka yang berkecimpung di dunia kesenian jalanan ini adalah sebagai pengemis. Dimana yang dipermasalahkan oleh orang orang dinas itu adalah kotak berjalan yang hinggap kepada warga disekitaran traffic light tersebut. Padahal menurut gue, mereka lebih terhormat dari seorang peminta-minta yang hanya mengandalkan tangan kosong tanpa keahlian. Sedangkan para pelaku seni jalanan ini lebih menjual keahlian seni mereka dari alat-alat tradisional bahkan sederhana.

Berbeda dengan dinas sosial, berbeda pula dengan dinas pariwisata yang menganggap bahwa kesenian jalanan ini merupakan salah satu bagian yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke kota istimewa ini.

 Bahkan dimata para wisatawan mereka adalah icon dari kota ini. Yang mereka cari dari kota istimewa ini salah satunya adalah kesenian jalanan ini. Kota ini memang terkenal dengan kota yang selalu menghargai karya seni.

Setiap karya seni dalam hal apapun selalu diapresiasi di kota ini. Berbagai macam pagelaran seni baik dari panggung maupun dijalanan seperti tidak pernah ada habisnya. Selalu saja ada yang ditampilkan. Sedangkan di kota kelahiran gue saja untuk menikmati kesenian daerah misalnya itu sangat sulit. Banyak yang gue tidak tahu kesenian yang berasal dari daerah gue. Dan gue merasa malu karena gue baru tahu kalau kesenian itu asli daerah gue setelah gue mencari ilmu disini.

Harapan dari pelaku seni jalanan di kota ini sangat jelas. Mereka ingin terus menghasilkan karya seni sesuai dengan yang mereka inginkan. Yang mereka cari adalah kepuasan diri terhadap seni tersebut. Penghasilan mereka dari menjual karya mereka tidak seberapa. Bahkan sangat bertolak belakang dengan mereka-mereka yang berada di gedung terhormat yang berpenghasilan puluhan juta rupiah tetapi tidak ada kontribusinya sama sekali untuk negeri tercinta ini.

Harusnya mereka yang berdasi malu dengan mereka yang hanya mencari sesuap nasi dari sebuah karya seni. Bukan ribut tidak jelas lalu membanting meja yang bernilai jutaan rupiah. Bayangkan apabila mereka juga mulai membanting rasa terhadap seni nya. Mau jadi apa negeri ini tanpa karya seni ? Apa hanya akan menjadi negeri para pencari kekuasaan bermodalkan dasi ?

Cerita ini gue tulis berdasarkan apa yang gue dapat hari ini. Sedikit menyampaikan salam dari mereka para pelaku kesenian jalanan. Mereka ber-seni untuk hidup mereka, untuk kepuasan mereka, bahkan untuk kepuasan mereka yang melihatnya.

Satu hal pelajaran yang gue dapatkan hari ini bahwa jangan sesekali meremehkan mereka yang hidup dijalanan. Karena, (mungkin) mereka akan lebih baik dari siapapun. Gue gak akan pernah untuk berhenti belajar dari berbagai tempat yang gue datangi karena memang setiap tempat baru akan ada cerita baru bahkan pengalaman baru yang mungkin tidak akan pernah terulang bahkan di tempat yang sama sekalipun.

Foto-foto yang gue ambil :

Seiklasnya kok
Saat Show 
Angklung sebagai alat penunjang me(ngamen)

0 comment: