Apr 22, 2015

Kisah Sebentar : Lasem yang Berbeda

Terakhir kali gue menulis di blog ini hampir sekitar satu bulan yang lalu. Terkalahkan oleh banyaknya aktifitas yang  menuntut gue untuk selalu berada diluar kamar kos. Pergi pagi untuk kuliah dan kembali ke kos larut malam yang diakhiri oleh rapat yang beragam. Ah, gue lupa untuk terus produktif menulis di blog ini.

Sekitar satu hari yang lalu, gue berkesempatan untuk keluar dari zona yang selama ini bikin gue terlelap. Gue bisa menikmati udara selain di jogja. Menikmati keindahan yang akan hadir di setiap kotanya. Kali ini gue berkesempatan berkunjung ke sebuah daerah yang berada di pesisir pantai utara yang juga menjadi perbatasan antara Jawa Temgah dan Jawa Timur. Lasem, sebuah kota orang sekitar menyebutnya namun masih berada dibawah pemerintahan kabupaten Rembang. Sebelumnya gue buta tentang Rembang apalagi tentang lasem ini. Gue belum tau apa-apa tentang Lasem ini. And this is a first time !!!

Pendapat pertama kali gue tentang Rembang adalah Panas !!! gilak panas banget, gak selow gitu panasnya. Kulit gue kayak lagi ada diatas panggangan barbeque. Selain panas, gue juga berkesimpulan bahwa kota ini miskin meskipun kota ini berada dikawasan pesisir pantai yang notabene mata pencaharian warganya adalah dengan melaut. Gue bilang gitu karena sepanjang jalan gue perhatiin banyak warganya yang berkehidupan kurang layak, kumuh. Tapi tunggu dulu, tagline dari kota Rembang ini menarik. Rembang Bangkit. Keren, semoga semangat bangkitnya warga rembang juga didukung oleh birokrasinya pemerintahan rembang itu sendiri. Ternyata dari Rembang ke Lasem masih lumayan jauh. Masih ada setengah jam lagi. Sepanjang perjalanan gue cuma memperhatikan lingkungan sekitar dari dalam kendaraan.

"Selamat Datang di Kampung Batik Tulis Lasem"

Setelah ada tulisan kaya gitu gue mulai memancarkan aura bahagia.

"yes, gue menginjakkan kaki di kota yang baru lagi" gumam gue dalam hati.

Entah kenapa gue selalu senang setiap menginjakkan kaki disebuah kota yang sebelumnya belum pernah gue kunjungi bahkan belum pernah gue tau sebelumnya. Dan kali ini gue berkesempatan untuk beberapa hari di kota Lasem. Gue yakin bakal banyak yang dipelajari dari kota ini.

Ada yang buat mata gue gamau berkedip. kenapa kota ini banyak didominasi warna merah khas warga Tionghoa. Dengan berbagai macam pertanyaan timbul berputar-putar di otak gue ini. Kota ini bagai tiongkok kecil. Dan setelah beberapa hari disana gue pun mengeneralisasi keunikan yang ada di Lasem yang membuat berbeda dengan kota yang lainnya, yaitu:


1. Kota Budaya

Lasem adalah salah satu kota yang sedang berkembang menjadi kota budaya. Dimana warganya saling bahu membahu membangun lasem untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dari beberapa tokoh masyarakat yang menyebut diri mereka sebagai fokmas (forum komunikasi masyarakat) menyebutkan bahwa lasem saat ini sedang mencoba membangun kebudayaan lasem yang masih ada. Salah satunya dengan mempertahankan peninggalan-peninggalan yang ada dengan tetap mempertahankan bangunan-bangunan kuno baik khas chinese, kolonial, ataupun bangunan khas jawa. 

Inilah yang sudah seharusnya dicontoh oleh kota-kota lainnya yang juga terdapat beberapa peninggalan bersejarah yang tentunya akan dirasakan oleh anak  cucu kita nanti sebagai penerus bangsa. Katanya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, bukan pemilik modalnya.  

2. Menghargai Satu Sama Lain

"Dasar Kamu cina"
"Dasar Kamu Jawa"
"Dasar Kamu Kristen"

ataupun sebagainya yang membuat setiap manusia yang ada menjadi terpinggirkan karena status suku, ras, ataupun agama mereka. Gue tidak menemukan itu di Lasem. Disini gue diajarkan untuk menghargai satu sama lain. Disini sudah dihilangkan yang namanya perbedaan RAS. Disini gue diajarkan untuk hidup rukun antar umat beragama.  Gak percaya ?

Coba berkunjung ke lasem. Di Lasem gue menemukan beberapa bangunan khas Chinese yang berpadu dengan  arsitektur khas jawa, belanda, ataupun dengan islam. Berkunjunglah ke pesantren Kauman. Bahkan disana pun ada seorang santri yang berasal dari agama selain muslim, katolik. Tapi santri disana tetap hidup rukun tanpa memandang agama apapun. Kalau merasa itu kurang cukup menjadi bukti lasem sebagai kota yang saling menghargai, berkunjunglah ke Warung Jinghe. Warung tempat berkumpulnya masyarakat lasem ataupun luar lasem. Dimana di warung itu terdapat santri, pegawai, kiayi, ataupun para engkoh engkoh yang sehabis berdagang. Keren kan ?

Kalau emang pengen tau gimana cara menghargai berkunjunglah ke Lasem. Belajarlah dari keseharian mereka, bergaul yang baik dari mereka. Ataupun menghormati sesama. Alasannya sederhana, agar bangsa ini bebas dari peperangan antar saudara hanya karena perbedaan. Percayalah, perbedaan itu indah bahkan berwarna. Tuhan aja engga beda-bedain kok dari suku apa agama apa, gimana keimanannya aja. Jadi, jangan jadikan sara sebagai alasan untuk terjadinya konflik di negeri tercinta ini. Sebelum ada konflik, berkunjung ke Lasem, siapa tau dapet jawaban gimana indahnya saling menghargai sesama. 

0 comment: