Apr 7, 2014

Rena dan Jakarta



Dengan penuh tekad dan keyakinan yang sekuat baja, aku tetap memutuskan untuk melanjutkan cita-citanya. Meskipun aku harus melihat bapaknya kehilangan mata pencaharian karena kambing semawata wayangnya harus dijual untuk aku berangkat ke Jakarta.
                   
Hari itu, memang mentari yang biasanya terlihat cerah belum menampakkan sinarnya. Nampak masih malu-malu untuk muncul ke permukaan bumi ini. Namun, suara ayam sudah seperti vocal group sedang berlatih. Saling menyambut suara merdu satu sama lain.
                 
 Di dalam rumah, keluarga kecil ini juga terlihat lebih sibuk dari biasanya. Hari ini memang hari dimana aku akan berangkat ke ibu kota untuk mejemput cita-cita, mimpi, serta harapannya disana. Dengan hanya berbekal uang tidak lebih dari dua juta rupiah dan doa, Rena memutuskan untuk mengasah kemampuan dan keberuntungannya disana.
                   
Keluarga kecil ini memang tidak pernah melewatkan untuk melakukan sholat subuh berjamaah. Karena, bapaknya tetap mengajarkan kepada anaknya bahwa hanya ALLAH lah Sang Maha Esa. Dan ini adalah kesempatan terakhir bagi keluarga kecil ini untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah.
“Assalamualaikum warohmatullah wabarakatuh” Terdengar ayah mengucapkan salam tanda berakhirnya Shalat
                   
Ibu yang tepat berada disamping aku menyambut salam yang dilayangkan oleh aku, dan dilanjutkan oleh bapak. Setelah itu mereka melanjutkan doa.

                  
“Tuhan, terima kasih engkau telah menganugrahkan kami keluarga kecil yang bahagia.” Ungkap ayah sambil menatap anak dan istrinya
                   
“Terima kasih juga engkau menganugrahi aku dan istriku seorang anak yang cerdas.” Lanjut bapak
                  
 “Terima kasih karena kami masih diberikan nafas hingga saat ini. Sehingga aku dan istriku dapat melihat anak kami bahagia. Bahagia dengan segala kekurangan yang kami miliki.”
                  
 Air mata mulai menetes dari mata indah aku. Seolah tak kuasa untuk meninggalkan rumah ini. Rumah dengan sejuta kenangan yang ada. Rumah yang tidak sebesar istana ini justru mampu menghadirkan banyak kebahagiaan.

“Sudah nak, kami selalu mendoakanmu disana. Jaga dirimu baik-baik disana.” Ucap ibu sambil mengusap rambut ku

“Iyah bu, Rena janji engga akan ngecewain perjuangan ibu sama bapak.” Jawab Rena tersedu-sedu

“Bapak bangga nak dengan kamu. Bawa nama baik bapak dan ibu yah.” Sambung bapak

                   
Selepas sholat subuh, aku dibantu ibu mempersiapkan apa yang akan dibawa untuk menghadapi kerasnya ibu kota. Pakaian, buku-buku semuanya aku bawa. Taka da kosmetik yang Rena miliki. Karena aku tidak terbiasa menggunakan kosmetik dan aku juga sadar bahwa untuk bisa makan saja sudah bersyukur.
                  
 Matahari pagi itu sudah hampir meninggi. Aku akan diantar oleh ibu dan bapaknya ke terminal terdekat. Tak memiliki kendaraan bermotor tidak menyurutkan langkah mereka untuk mengantar Rena. Mereka bertiga cukup berjalan kaki bersama-sama kemanapun mereka akan pergi.
“Aku bangga memiliki keluarga seperti kalian pak,bu” Ungkap Rena dalam hati
                   
Bapak dan ibunya ini memang sangat menyayangi aku. Karena, aku adalah anak satu-satunya mereka. Anak perempuan yang paling mereka sayang. Anak yang kini juga menjadi kebanggaan mereka. Dikampung ini, baru aku yang bisa berkuliah di Universitas Indonesia. Apalagi dengan beasiswa penuh yang didapatkannya.
                  
 Tak terasa langkah mereka yang begitu jauh ini telah sampai. Dari terminal inilah aku akan memulai perjalanan hidupnya. Perjalanan hidup yang berat di Jakarta nanti. Mengarungi arus kehidupan yang begitu keras disana.

“Nak, ibu dan bapak hanya bisa mengantarkan kamu disini. Kami sudah tidak memiliki ongkos untuk mengantarmu sampai ke kota.” Ungkap ibu sebelum aku menaiki angkot

“Iya bu, tidak apa-apa. Doakan Rena untuk semuanya.” Jawab aku yang mulai meneteskan air mata

“Rena juga pamit yah bu.” Sambung Aku sambil melakukan salam perpisahan dengan bapak dan ibu

“Hati-hati dijalan ya nak.” Jawab bapak sambil mencium keningku
                  
 Dari kampung aku harus meneruskan perjalanannya menuju terminal di kota. Perjalanan yang cukup panjang untuk aku menempuh jalan kesuksesan. Jalan yang mungkin nanti
Dapat merubah sedih bapak dan ibu menjadi senyuman dimasa tua mereka.

“Akan ku bayar lunas semua pengorbanan bapak dan ibu.”
“Aku harus bisa menjadi kebanggaan dimasa tua mereka.”
                  
 Perjalanan memang masih cukup panjang. Dan aku baru akan memulainya sekarang. Dari kampung aku akan merubah dunia. Dunia akan tau siapa aku. Rena yang akan merubah semuanya.

Selamat datang di Jakarta
                  
 Kata itu terlihat jelas di baliho saat aku akan memasuki ibu kota. Tersadar dari lamunanku tenang kota ini. Kota dengan berbagai macam aktifitas didalamnya. Berbagai macam karakteristik manusia ada di kota ini. Yang aku punya saat ini hanya selembar surat tanda aku di terima di Universitas Indonesia tempat aku akan menggapai mimpiku.
                  
 Dari terminal ini aku  aku melanjutkan perjalanan aku ke depok. Masih terasa lama untuk sampai di tempat aku menaruh mimpi. Selama perjalanan itu aku hanya memperhatikanm daerah sekitar. Gedung-gedung tinggi, dengan kaca yang berkilau saat terkena cahaya. Ribuan kendaraan yang memadati ibu kota. Lama aku terlelap dalam lamunanku tentang kota ini. Membuat aku tersadar bahwa aku telah sampai di Universitas impianku.

“Terima Kasih tuhan, aku bisa menginjakkak kaki ku di Kampus ini. Di kota ini.”
                   
Langkah kaki ku sempat terhenti dengan apa yang aku lihat. Seakan tidak percaya nantinya aku akan belajar di sini. Di tempat yang diimpikan oleh semua orang. Aku bersyukur bisa menginjakkan kaki disini. Sedih bercampur bahagia aku bisa mencicipi kerasnya Jakarta.
“Pak, bu aku sudah sampai di Jakarta. Aku akan memulai untuk membuat kalian bangga disini.”
“Dokan Rena bu, pak.”
Tuhan sampaikan doaku ini pada mereka yang jauh disana. Aku akan memulai mimpiku disini, di Ibu Kota ini.

0 comment: