Oct 7, 2015

Menuju 259

Pulang Ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku
Bersahabat penuh selaksa makna

Tau kan sepenggal lirik lagu tersebut? iya lagu ini sangat fenomenal dan melegenda. Lagu ini dipopulerkan oleh KLA project. Yaaa, sepenggal lirik diatas judulnya "Yogyakarta." Sebuah daerah yang sangat istimewa. Kota penuh cinta, kota penuh rasa, dan kota penuh keistimewaan.

Kemarin sore, gue keliling kota Jogja pakai matic kesayangan gue. Jalan-jalan berkeliling Kota Jogja dimulai dari jalan kaliurang sampai ke Jalan Jogokariyan. Nampak ada yang berbeda sore itu. Banyak lampu-lampu (lampion) yang dihias sedemikian rupa oleh warga sekitar. Ada tulisan angka 259. Ada yang tau itu angka apa? Iya, Kota Yogyakarta sekarang umurnya sudah 259 tahun. Umur yang dikatakan sudah sepuh (re:tua). Umur yang bahkan akan mustahil bagi seorang manusia. Umur yang bahkan lebih dulu ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ada. Umur yang sudah senior diantara kota-kota lainnya di Indonesia. Woow.

Ternyata lampion itu adalah sebagai bentuk suka cita warga masyarakat Kota Yogyakarta dalam menyambut kelahiran dari Kota Istimewanya. Ramai, meriah, seru, dan istimewa. Gue juga sempet liat Kirab Budaya Pasar Tradisional seluruh Yogyakarta di sepanjang jalan Malioboro - Beringharjo menuju ke Pasar Ngasem. Seru banget.
Peserta Kirab
Setelah acara kirab itu selesai gue kembali ke habitat gue di kaki gunung Merapi. Gunung tergagagh di Keratonan Yogyakarta. Gunung yang paling keren juga. Ngeeeennggg gue memacu matic kesayangan gue sambil sepanjangn jalan lirik kanan kiri. Dan gue baru sadar ternyata dibalik keistimewaan Yogyakarta di kanan kirinya terdapat bangunan bertingkat menjulang dan berkaca tebal. Sepanjang jalan gue perhatiin Antara hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan sekarang saling berdekatan dan berkompetisi. Kanan kiri isinya kaca dan kaca. Beda kaya 3 tahun lalu waktu gue pertama kali nginjek kaki disini. Bener-bener Jogja yang penuh dengan keistimewaan.

Walau kota ini bukan kota kelahiran gue, tapi gue udah merasa nyaman tinggal di kota ini dengan segala macam keistimewaan di dalamnya. Istimewa Kotanya, Istimewa masyarakatnya. Apa yang engga gue dapet di kota kelahiran dengan mudah gue dapet di kota Istimewa ini. Ramah, senyum, kehangatan antar warga masyarakatnya. Itu, yang susah gue dapetin di kota kelahirang gue. Itu alasan pertama kenapa kota ini bisa istimewa.

Seiring berjalannya waktu, Kota yang semula istimewa karena kearifan lokalnya sekarang lambat laun bahkan cenderung cepat mulai bertransformasi menjadi sebuah kota yang metropolis. Kota yang istimewa ini sekarang di(paksa)kan untuk sama denga kota metropolis lainnya. Dipaksakan untuk menjadi masyarakat yang konsumtif dengan berdirinya pusat-pusat perbelanjaan, dipaksakan hedon dengan berdirinya apartemen-apartemen yang berlabel apartemen mahasiswa, dipaksa untuk berstandar hidup mewah dengan berdirinya hotel-hotel berkelas di setiap sudutnya.

Selain itu juga, kota ini mulai dipenuhi berbagai macam sampah. Salah satunya adalah sampah visual. Coba kamu jalan-jalan ke sekitar Jalan Kaliurang dari Km 2 sampai km 8. Pasti kamu bakal lihat sampah visual dimana-mana. Setiap toko, gak peduli itu toko kecil atau besar, pasti didepan tokonya punya baliho. Belum lagi baliho lainnya yang saling menutupi satu sama lain. Kaya lagi berlomba memasang seberapa besar baliho itu. Penunjukan eksistensi. Liat juga di sepanjang lampu merah kentungan kaliurang, semua isinya baliho. Dari mulai baliho Universitas sampe baliho penampilan DJ ternama di ibu kota. Sebenernya, ini udah masuk Sleman. Kalau mau liat betapa sampah visual itu menggangu, coba kamu main-main ke Malioboro, lewat jembatan amarta. Satu lurus didepan matamu setelah jembatan itu isinya Baliho semua. Dari universitas sampai diskonan di toko komputer. Lengkap.

Sekarang Kota Yogyakarta sudah menginjak usia 259. Usia yang tidak bisa dibilang muda lagi. Usia yang sudah masuk dalam kategori lanjut.Usia yang seharusnya duduk manis di depan rumahnya hingga menunggu senja usai. Tapi, itu semua cuma berlaku bagi manusia, bukan bagi kota. Semakin tua kota itu diharuskan semakin maju. Majunya menurut orang Indonesia itu menurut gue adalah semakin banyaknya hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan. Bukan mengembangkan hal yang tradisional kaya pasar tradisional tapi malah menghilangkannya dengan alasan revitalisasi.

Di usia yang ke 259 ini, Yogyakarta bertransformasi seperti ibu kota. Setiap sudut ada hotel dan apartemen, pusat perbelanjaan yang berjarak hanya beberapa ratus meter, supermarket dan minimarket di setiap belokan ada bahkan posisinya kalau engga samping-sampingan yaa depan-depanan.

Bukan kapasitas gue memang bicara soal itu. Apalagi mengkritik siapa yang salah atas ini. Entah siapa yang salah atas kemudahan selama ini. Kemudahan untuk mendirikan sesuatu yang modern dan menggantikan sesuatu yang memiliki kearifan lokal. Memiliki nilai sejarah bahkan. Ah, yasudahlah. Itu hanya akan menjadi rahasia pengusaha, pemerintah, dan tuhan.

Sebagai mahasiswa yang udah tinggal hampir dua tahun lebih disini, di kota istimewa ini, tentunya gue merasakan perubahan dan juga mengharapkan sesuatu dari setiap perubahan itu. Bukan sesuatu yang sangat besar tapi setidaknya akan jadi harapan yang sama. Di usia 259 mu ini, gue punya beberapa harapan kecil seperti:

  1. Hentikan pembangunan  gedung bertingkat dan pusat perbelanjaan
  2. Istimewakan kota ini seperti pertama kali gue tau betapa istimewanya kota ini
  3. Jangan hilangkan kearifan lokal dan jangan bentuk persepsi kebudayaan yang dibuat oleh media.

Dirgahayu 259 Yogyakarta, tetap istimewa sebagaimana Jogja Hip Hop Foundation bernyanyi tentang betapa istimewanya kota ini. Tetap istimewa seperti slogan terbaru mu "Jogja Istimewa". Tetap istimewa sebagaimana kota ini yang memiliki warga masyarakat yang istimewa. Tetap istimewa sebagaimana banyaknya mahasiswa istimewa yang lahir di kota istimewa ini.