Jan 24, 2015

Bahagia itu sederhana kok


Pernah denger teori bahwa bahagia itu sederhana ?

Teori, pepatah, kata-kata kiasan, atau apapun itu yang pasti banyak hal yang telah dibuktikan terutama dalam hidup gue bahwa bahagia itu memang sangat sederhana. Gak perlu cara yang super mewah kaya artis papan atas untuk bahagia, gak perlu pergi ke eropa kaya princess syahrini, ataupun pamer mobil super mewah kaya selebriti lainnya. Yaa, bahagia itu emang sederhana.

Kenapa gue bisa bilang begitu ? Karena jawabannya sangat sederhana. Pernah merasakan. Gue gak akan berani bilang bahwa untuk bahagia itu sangat sederhana kalau gue tidak pernah merasakan sama sekali bahagimana cara ataupun merasakan bahagia yang sederhana. Siapa sih yang gak mau bahagia. Apapun.

Hari ini, sabtu 24 januari 2015 gue kembali mendapatkan sebuah kebahagiaan yang hanya diperoleh secara sederhana. Iya, gue baru aja dapet sesuatu yang bikin bahagia itu terlihat sederhana. Dan buat gue itu adalah suatu hal yang sangat mewah. 

Gue diajak untuk mengikuti CSR yang diadakan oleh Himakom (Himpunan Mahasiwa Komunikasi) UII. Awalnya sih gue diajak buat tilawah didepan adik-adik di salah satu Madrasah Ibtidaiyyah atau setingkat sekolah dasar. Dan gue menerima tawaran tersebut karena gue juga ingin tau bagaimana hidup bersama orang-orang yang mungkin berbeda jauh dengan kehidupan gue sebagaimana mestinya. Meski cuma sebentar, tapi gue yakin  bakal ada sesuatu yang bermanfaat yang bakal gue dapet di tempat baru. Tempat baru menurut gue adalah tempat yang menyediakan banyak kesempatan buat kebahagiaan, pengalaman yang sangat berharga.

Kaget, speechless, seneng pas pertama gue dan teman-teman lainnya sampe di tempat itu. Gue dan teman-teman lainnya ternyata sudah ditunggu oleh adik-adik dan guru-gurunya. Mereka bak menunggu selebriti melintas dengan red carpet yang tergelar. Mereka rela menunggu gue dan teman-teman yang datang terlambat. Entah sudah berapa lama mereka menunggu tamu mereka. Mungkin sudah kepanasan, gerah, dan lain sebagainya mereka rasakan. Tapi, mereka tetap senang dan tersenyum menyambut gue dan teman-teman lainnya. Dengan senyum ceria dan lepas seperti tanpa beban mereka menyambut rombongan yang datang. Meski mereka tau gue dan temen-temen bukan orang yang lebih penting dari menteri yang memperhatikan mereka, atau para politikus yang berjanji untuk memperbaiki pendidikannya. Kenyataannya ? hanya isapan jempol.

Seneng bukan main gue disambut dengan cara seperti itu. Belum pernah gue berada diantara mereka yang setia menanti walau belum mengenal gue dan temen-temen itu siapa. 
Liat kan ? mereka kaya nyambut orang penting dateng
Setelah gue masuk kedalam sekolah itu ternyata berbanding terbalik dengan apa yang gue lihat pertama kali dari adik-adik lucu ini. Senyum mereka ternyata tidak mampu menutupi tempat mereka menuntut ilmu yang bisa gue bilang kurang begitu layak untuk sebuah tempat pendidikan. Kondisi ruang kelas yang sempit, panas, bahkan kurang pencahayaan ternyata tidak menyurutkan adik-adik ini untuk menuntut ilmu. Keren. Mereka bisa menuntut ilmu ditengah keterbatasan. Bukan cuma keterbatasan gedung dan prasarana lainnya, ternyata sekolah ini juga sangat kekurangan sumber daya manusia yang belajar disini. Bayangin aja kelas dua satu kelas cuma ada 7 orang. Sedangkan waktu gue Sd dulu satu kelas itu hampir 50 orang. Buat duduk aja susah apalagi buat konsentrasi belajar. Tapi mereka ? sangat kekurangan.

Rasanya, cuma rasa bersyukur yang selalu gue panjatkan pada Tuhan. karena gue telah diberikan kesempatan untuk mencari ilmu dari taman kanak-kanak hingga kini menjadi seorang mahasiswa. walau tuhan juga melihat betapa susah payahnya gue untuk menjadi seorang mahasiswa seperti sekarang ini. Ternyata, masih ada yang sangat kekuarangan dari gue. Tapi mereka tetap bahagia dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Tidak mengurangi satu hal pun bagi mereka untuk tidak tersenyum dan tertawa bahagia. Meski terbatas.

Hal lain yang bikin gue bahagia ketemu dan berinteraksi dengan mereka adalah mereka belum mengenal teknologi. Beda kaya anak-anak seusia yang sekolah disebuah kota metropolitan. Ditangan mereka cuma hanya ada teknologi. Gadget yang mahal yang cuma bikin mereka semakin tidak peduli dengan apa yang ada disekitar mereka. Beda banget kaya apa yang hari ini gue lihat. Jarang sekali mereka membawa gadget kesekolah. Bahkan, saat ada kamera dan melihat diri mereka pun mereka masih malu-malu. Seperti kaget melihat sesuatu yang baru mereka dapatkan, mereka lihat, dan ada di dunia mereka. Asing.

Adik-adik di Mi Muhammadiyyah Trukan, Gunung Kidul memang sangat antusias dengan segala macam kegiatan yang diadakan oleh temen-temen gue. Yang gue perhatiin adalah mereka selalu senang dengan kegiatan tersebut. Kaya yang gue bilang tadi, mereka hidup di dunia yang seperti tanpa beban, tanpa beban teknologi yang menghantui dan bisa menghilangkan sifat anak-anak sebagaimana mestinya. Dan mereka bahagia.

Ada yang main karet, main sepeda di lapangan sekolah, ada juga yang main bola pake bola plastik, bahkan ada yang menangis hanya karena dijahili oleh temannya. Semua itu rasanya gak bisa gue lihat disekolah-sekolah yang ada di perkotaan. Yang gue liat adalah mereka menunduk dan sibuk dengan dunia masing, menunjuk dan sibuk memperlihai gerakan sepuluh jari. Tanpa peduli bagaimana lingkungan yang ada.
di kota masih ada ?


Ah, rindu rasanya kembali ke masa gue dulu dimana gue adalah orang yang paling senang dengan dunia main dengan kawan sebaya. Apalagi soal permainan yang belum sama sekali di nodai oleh teknologi. Bermain biasanya membuat diri bahagia, meski sederhana namun lebih banyak bermakna karena bersama kawan.

Terima kasih adik-adik ilmunya, senyumnya, tawanya, candanya, bahkan sampai tangisnya. Semoga kelak kalian jadi orang yang berhasil. Jadi orang yang meraih cita-cita masa kecil. Dan jangan lupakan teman hanya karena sebuah teknologi. Karena bahagia bukan tentang seberapa mahal teknologi yang dimiliki, bahagia hanya perlu sebuah cara yang sangat sederhana.

Foto bersama

0 comment: