“Banyak orang bilang kalau Pulau Jawa itu
hanya sebatas beberapa kota besar seperti DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, bahkan Yogyakarta. Tapi, setelah mengunjungi Banyuwangi, Pulau Jawa bukan hanya kota-kota tersebut saja”.
Yes, bulan september 2017 memang surganya para
pencinta jalan-jalan. Selain banyaknya tanggal berwarna merah, bulan September
2017 juga masih bertepatan dengan musim kemarau di Indonesia. Tentu kemarau
jadi favorit bagi para pejalan untuk sekedar melepas lelah pekerjaan di akhir
pekan.
Setelah menentukan tanggal, transportasi selama
di Banyuwangi, hingga penginapan yang menjadi tempat singgah selama di
Banyuwangi, maka yang ditunggu adalah saat hari itu datang. Yess. Perjalanan
menuju Banyuwangi dari Yogyakarta menggunakan Kereta Api Sri Tanjung akan
menempuh perjalanan kurang lebih 13 Jam. Membosankan? Tentu tidak. Karena dari
sebelum memulai perjalanan ini, niat saya adalah untuk berlibur,
bersenang-senang selama liburan.
Banyak cerita menarik selama perjalanan diatas
Ka.Sri Tanjung. Di Kereta api kelas ekonomi ini kita akan menemukan banyak
tingkah perilaku berbagai macam manusia yang beragam dan unik. Ada yang membawa
anak dengan cukup banyak, hingga saya bertemu dengan seorang traveller yang
melalukan solo traveller, dan orang yang membawa barang bawaan
yang cukup banyak; kaya mau pindahan.
Di sepanjang perjalanan pun saya begitu menikmati
sajian alam khas Indonesia yang cukup indah. Bahkan untuk pertama kalinya saya
melewati daerah terdampak dari Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Sayangnya jalur
kereta hanya berada di samping lokasi yang kini menjadi museum Geologi. Selain
itu, saya juga untuk pertama kalinya mengetahui kota-kota yang ada di sekitar
Jawa Tengah dan Jawa Timur yang belum saya ketahui sebelumnya. Padahal, saya
lahir dan besar di Jawa.
Tiba di Stasiun Karangasem pukul 20.34 membuat
waktu perjalanan selama 13 jam terasa tidak terlalu lama. Ternyata banyak juga
yang turun di stasiun ini. Padahal masih ada stasiun akhir dan menjadi stasiun
paling ujung di Pulau Jawa, Stasiun Banyuwangi Baru.
Menginjakkan kaki di Banyuwangi pertama kali
untuk berlibur membuat hati saya cukup senang. Memang mengunjungi Banyuwangi
bukan jadi kesempatan pertama, namun kesempatan mengunjungi Banyuwangi hanya
untuk melakukan penyebrangan ke Pulau Bali. Dan, kesempatan pertama untuk
mengunjungi Banyuwangi dengan tujuan untuk berlibur tentu membuat hati ini
senang.
Malam itu juga, saya memutuskan untuk melakukan
perjalanan menuju Ijen. Setelah turun dari kereta saya bertemu dengan beberapa
orang yang juga mempunyai tujuan untuk berlibur di Banyuwangi. Setelah
mengobrol dan berkenalan maka kami memutuskan untuk singgah di dekat stasiun
sambil menunggu tengah malam untuk menuju Ijen Creater.
Tujuan saya ke Ijen Creater adalah untuk memotret
keindahan blue fire khas Ijen dan kegiatan para petani
belerang dari masyarakat Ijen itu sendiri.
Dengan penuh semangat pukul 00.00 wib, saya yang
pergi dari Yogyakarta bersama orang tersayang plus ditambah teman on
the spot yang ternyata satu kampus memutuskan untuk pergi ke Ijen
dengan konvoi menggunakan sepeda motor. Tidak sulit menuju Ijen dari Stasiun
Karangasem, tidak perlu khawatir akan tersesat. Karena kesan pertama saya saat
akan menuju Ijen adalah Akses menuju lokasi wisata yang tidak terlalu
sulit. Hal ini didukung dengan insfrastruktur yang cukup baik dan
tersedianya petunjuk jalan di setiap persimpangan jalan. Tentu hal ini
mempermudah wisatawan dengan budget terbatas seperti saya. Liburan yang
dilakukan tanpa paket wisata dan tour guide. Bahkan
untuk transportasi saja menggunakan jasa penyewaan motor.
Kurang lebih 2 jam perjalanan dari Stasiun
Karangasem menuju Kawah Ijen dengan menggunakan sepeda motor. Tiba di Parkir
Ijen sekitar pukul 02.00 pagi dengan kondisi badan yang sudah menggigil karena
kedinginan. Dilanjukan dengan mendaki kurang lebih 2-3 jam menuju puncak kawah
Ijen. Harga tiket masuk kawah ijen adalah sebesar Rp.7500,- di hari libur untuk
wisatawan nusantara dan biaya parkir.
Selama perjalanan mendaki menuju puncak, saya
bertemu dengan banyak wisatawan baik wisatawan asing maupun dari Indonesia. Ada
yang unik saat sedang mendaki, yakni adanya Taksi/Ojek Gunung Ijen.
Dimana ojek/taksi ini dikemudikan oleh manusia dengan menarik/mendorong gerobak
yang sudah dimodifikasi untuk 1-2 orang. Ada rasa iba betapa beratnya
perjuangan para pengemudi Taksi Gunung tersebut. Dimana 1-2
orang penumpang ditarik oleh 2-3 orang driver.
Sayangnya, karena kondisi kaki yang kurang siap
menghadapi beban dan medan ke Ijen Creater, saya memutuskan untuk berhenti
sampai warung yang berada sebelum tanjakan menuju puncak. Sedih, karena saya
tidak bisa menikmati keindahan Blue fire Ijen Creater. Namun, untuk
mengobati hal tersebut maka saya memutuskan untuk mengunjungi Kawah Wurung yang
berada di tetangga Banyuwangi, yakni Kab,Bondowoso. Indah, namun sayang
lokasinya sulit terjangkau serta insfrastruktur yang kurang memadai.
Dekatnya penginapan yang dipilih dengan pantai
Watu Dodol membuat mata sulit untuk berpaling dari indahnya laut Ujung Timur
Pulau Jawa ini. Biru, tenang, dan jernih membuat mata ini sangat menikmati
keindahan ciptaan tuhan.
Rasa penasaran yang datang membuat saya ingin
mengunjungi Bundar (Bangsring Underwater) tempat yang cukup terkenal (saya
browsing info) dengan Rumah Apung dan Penangkaran Hiu. Tiket masuknya pun cukup
murah Hanya Rp.4000,- (Sudah parkir motor). Tetapi, Apabila ingin menyebrang
menuju rumah apung kita hanya ditarik biaya sekitar Rp.5000,-saja. Dan jika
kita ingin menikmati indahnya laut Banyuwangi lalu bermain-main bersama nemo kita
hanya cukup membayar Rp.30.000,- saja. Menarik kan?
Di hari ke 3, saya penasaran dengan Taman
Nasional Baluran. Meskipun secara letak berada di Kabupaten Situbondo, namun
tak sedikit orang-orang yang meng-upload Baluran di
Banyuwangi. Jadi, Banyuwangi atau Situbondo?
Memutuskan untuk berangkat pagi menuju Baluran.
Karena, menurut orang-orang yang saya tanyai, waktu yang tepat untuk
berkeliling di Baluran adalah pagi hari mulai pukul 05.00 wib - 08.00 wib.
Dimana di waktu tersebut hewan-hewan liar keluar untuk mencari makan. Seperti;
Rusa, Monyet, hingga Merak. Indah bukan? kita memang dimanjakan seperti berada
di Savana asli yang ada di Afrika Selatan. Tapi hati-hati, di Baluran jangan
bawa makanan atau apapun yang menurut si monyet seperti
makanan. Nanti akan bernasib seperti saya, dimana kunci hotel dibawa lari
monyet, dan kulit jok motor menjadi korban cabikan monyet-monyet liar.
Di Baluran sendiri terdapat satu pantai yang bisa
dibilang sebagai Hidden Paradise, yaitu Pantai Bama. Pantai
ini masih menyimpan keindahan lautnya dibalik Hutan Baluran yang sangat
gersang. Air laut nya biru seperti menembus kaca, hutan mangrove dan pepohonan
yang rindang menghalangi kita dari teriknya panas. Dan juga kawanan monyet liar
yang tetap mengintai kantong atau tas yang kita bawa. Jadi, tetap berhati-hati
yaaa.
Setelah puas dari Baluran, saya menuju Kota
Banyuwangi. Ada beberapa pantai yang membuat saya tertarik. Yakni Pantai Boom
dan Pantai Syariah. Namun, saya baru mengetahui kalau Pantai Boom sedang
ditutup karena akan dibangun marina di sekitar pantai. Akhirnya, untuk
mengobati kekecewaan karena tidak bisa menikmati keindahan Pantai Boom maka
saya memutuskan untuk ke Pantai Syariah. Unik kan?
Nama pantai yang unik dan cenderung islami ini
memang menggunakan konsep yang serupa. Dimana pintu masuk antara Akhi (laki-laki)
dan Ukhti (perempuan) dipisahkan. Pintu masuk laki-laki ke
sebelah kanan dan perempuan di sebelah kiri. Selain itu, terdapat tata tertib
agar menghentikan aktivitas apapun saat mendengar adzan. Benar saja, saat adzan
magrib sudah tidak ada orang satupun yang beraktivitas di pantai.
Rasanya, 4 hari 3 malam di Banyuwangi terasa
kurang. Beberapa tempat yang saya tulis ternyata berbeda arah dengan
penginapan. Kelak, saya harus kembali menikmati betapa majestic nya
Banyuwangi. Rasanya akan merugi karena kita tidak tau Banyuwangi. Gimana?
Pengen kan ke Banyuwangi? apalagi sama orang tersayang.
0 comment:
Post a Comment