Waahh, ternyata sudah lama tangan ini tidak bergoyang mengolah kata dan menulis. Gatal rasanya dan ada rasa rindu dalam tulisan ini, terutama pada sebuah kecamatan di kota kecil di pesisir utara jawa yaitu wilayah Lasem yang berada di Kabupaten Rembang. Mungkin, hanya sedikit dari berjuta penduduk Indonesia yang mengetahuinya. Mungkin juga mereka yang mengetahui hanya sekedar lewat karena jalur mudik mereka lewat Rembang. Atau mungkin penduduk asli yang memang lama merantau. Buat saya, yang notabene asli pulau Jawa sekalipun baru mengetahui setelah merantau dan mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kota ini.
Pertama kali mendegar kata Lasem buat saya adalah suatu daerah yang sangat asing di telinga.
Bahkan untuk tahu dimana letaknya pun saya tidak mengerti. Entah Lasem berada
di Jawa Tengah ataupun di Jawa Timur. Semuanya serba tidak saya ketahui tentang
lasem. Semuanya serba abu-abu kalau kata anak alay jaman sekarang. Belum jelas
asal usul nya atau bahkan ceritanya, Cuma bersumber dari “katanya.”
Pertama kali mendapat tawaran untuk berkunjung ke
Lasem tentu jadi hal yang menarik buat saya. Selain menarik, hal itu akan
menciptakan sebuah pengalaman baru di hidup saya. Yang tadinya cuma tau
kota-kota di sekitar Jabodetabek saja, sekarang saya bisa mengujungi berbagai
macam kota, yang dulu Cuma bisa liat di berita-berita. Semuanya karena merantau. Merantau yang membuat saya
tahu kehidupan diluar sana. Membuat saya tahu bagaimana kebudayaan atau tradisi
yang ada di suatu daerah yang bahkan begitu asing buat saya. Begitupun tentang
Lasem. Seminggu setelah tawaran berangkat ke Lasem, saya cuma membayangkan,
bagaimana melihat sebuah wilayah baru yang (mungkin) menurut ekspektasi
terbesar saya adalah semacam kabupaten yang sedang berkembang, dengan bangunan
nan-super-megahnya. (biasanya), wilayah yang menuju berkembang adalah wilayah
yang banyak dengan pusat perbelanjaan, atau apartemen dan hotel bintang lima
yang semalam tidurnya bisa sampe
setengah juta. Setelah tawaran itu, rasa penasaran saya untuk lebih jauh
berkenalan dengan Lasem semakin tinggi. Dari mulut ke mulut saya bertanya
tentang daerah ini. Dimana, seperti apa, dan bagaimana Lasem itu. Pertanyaan
sejenis yang sering muncul sebelum mimpi indah di malam hari. Bahkan terus
menghantui, walau terkesan berlebihan.
Doc Pribadi: Pelabuhan Rembang |
Hari keberangkatan yang ditunggu akhirnya datang jua,
Lasem sudah didepan mata. Perjalanan dari Kota Jogja menuju Lasem yang (kini)
saya tau hanyalah kota kecamatan di Kabupaten Rembang yaitu sekitar 7 jam.
Waaw, perjalanan yang akan sangat panjang. Namun, itu semua cukup membuat saya
semakin penasaran akan daerah ini. Selalu terbayang bagaimana Lasem dengan historical story di dalamnya. Banyak
orang yang bilang, kalau Lasem itu punya cerita sejarah yang sangat kental.
Khususnya tentang sejarah toleransi antar umat beragama. Cerita daerah tanpa
ada perbedaan dari siapapun yang tinggal disana. Semuanya guyub menjadi satu, warga Lasem khususnya, dan Rembang pada
umumnya. Daerah pesisir pantai utara ini semakin membuat saya semakin
penasaran.
Benar kata pepatah:
“Tak akan ada usaha yang sia-sia.”
Semua lelah selama perjalanan-pun terbayar dengan ciri
khas memasuki setiap daerah. Saya dan tim disambut hangatnya Kota Rembang yang
sangat terik.
“Selamat Datang di Kota Rembang.”
Dan dibawah tulisan
tersebut ada tulisan
“Rembang Bangkit.”
Bahagia mampu mengalahkan letih selama perjalanan.
Nampak kota ini sangat jauh dari ekspektasi saya tentang kota yang tengah bangkit. Di kota ini tanpa bangunan
bertingkat yang sampai mampu menggapai langit luas. Bahkan, kota ini hanya
menyediakan deburan ombak yang tenang khas lautan di pantai utara. Namun,
perjalanan ini belum sampai. Lasem masih berjarak beberapa kilometer lagi. Tidak ada yang lebih bahagia saat saya mulai melihat
tanda-tanda telah memasuki daerah Lasem. Ada yang menarik dari daerah ini,
yaitu banyaknya gapura yang didominasi warna merah dan aksara khas tionghoa.
Ternyata daerah ini adalah daerah yang menjadi domisili warga keturunan
Tionghoa. Dari sini muncul pertanyaan baru, apakah ini daerah yang didominasi
mereka yang berasal dari Tionghoa? Jawabannya ternyata bukan seperti itu. Menurut sedikit sejarah yang
saya pelajari adalah wilayah ini memang banyak warga tionghoa, namun tidak
sedikit juga warga pribumi yang tinggal di wilayah ini.
Berangkat ke Lasem, adalah suatu undangan yang
spesial. Ternyata, disini saya mendapat banyak pengalaman yang berharga. Tidak
hanya berlibur, disini saya juga sedikit banyak mengerti sejarah akan Lasem.
Yang memang ternyata terkenal dengan toleransi antar umat beragama. Terutama
antara Islam dengan Tionghoa. Mereka saling menghargai, bahkan mereka saling
mengasihi layaknya tuhan yang mengasihi umatnya. Tidak ada pertumpahan darah
disini hanya karena gesekan-gesekan pribadi. Semua berbaur dalam satu kekuatan.
Inilah yang membuat Lasem menjadi berbeda. Lasem adalah daerah dengan penuh
toleransi. 4 hari bukanlah waktu yang lama buat saya untuk mengenal Lasem lebih
jauh. Bahkan, adalah hal yang salah
bila kita punya tujuan hanya untuk menghabiskan akhir pekan atau libur panjang
di Lasem. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk belajar mengenali
Lasem. Toleransi menjadi hal utama yang menjadi ciri khas wilayah ini. Dari
perjalanan saya selama tiga hari, saya yang berkesempatan baik diajak untuk
berkunjung ke salah satu pesantren yang berada di wilayah Lasem. Pesantren
tersebut berada dikawasan Tionghoa. Pesantren tersebut ternyata menjadi hal
yang positif karena tidak ada perbedaan satu sama lain antara santri dengan
warga sekitar yang hampir kebanyakan warga Tionghoa. Layaknya Indonesia yang
dikenal Bhineka Tunggal Ika, Lasem
pun seperti itu. Berbeda-beda namun tetap satu. Berbeda bukan berarti untuk
berkonflik. Berbeda bukan berarti harus berperang. Berbeda adalah tentang
kerukunan, mencintai perbedaan itu sendiri. Itu yang saya dapatkan selama di
Lasem. Bahkan, bukan hanya sekedar isapan jempol belaka Lasem menerapkan
tentang Bhineka Tunggal ika. Di pesantren kauman yang berada di wilayah yang
didominasi Tionghoa itu ada seorang santri yang beragama Khatolik. Namun
sayang, saat itu saya hanya berkesempatan mengunjungi pesantren saja. Tidak
bertemu dengan santri tersebut.
Hal
ini semakin menunjukkan, bahwa toleransi adalah hal yang penting untuk terus
ditegakkan. Bukan melihat siapa kamu dan dari mana asal kamu. Tapi tentang,
bagaimana aku menghargai kamu dan kepercayaanmu. Dari toleransi ini muncullah
rasa saling menghargai yang sangat tinggi. Karena saling menghargai dan percaya
akan toleransi, bangsa ini pasti akan terhindar dari peperangan atau gesekan
antar pribadi yang menyangkut SARA. Bukankah lebih baik kita saling menghargai
daripada kita saling mencari kekurangan masing-masing?. Penasaran dan ingin belajar toleransi?
Berkunjunglah ke Lasem.
Selain
dikenal sebagai wilayah yang sangat menghargai toleransi, Lasem khususnya dan
Rembang pada umumnya adalah kota yang penuh akan kebudayaan. Adanya kesadaran
dari beberapa tokoh masyarakat yang menyebut diri mereka sebagai fokmas (forum
komunikasi masyarakat) menyebutkan bahwa lasem saat ini sedang mencoba
membangun kebudayaan lasem yang masih ada. Salah satunya dengan mempertahankan
peninggalan-peninggalan yang ada dengan tetap mempertahankan bangunan-bangunan
kuno baik khas chinese, kolonial, ataupun bangunan khas jawa. Inilah yang sudah
seharusnya dicontoh oleh kota-kota lainnya yang juga terdapat beberapa
peninggalan bersejarah yang tentunya akan dirasakan oleh anak cucu kita nanti sebagai penerus bangsa.
Katanya bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai sejarahnya, bukan pemilik modalnya.
Kesempatan
selama di Lasem ini saya manfaatkan. Banyak peninggalan sejarah yang khas dan
bahkan mendukung akan toleransi diatas. . Di Lasem saya menemukan beberapa
bangunan khas Chinese yang berpadu dengan
arsitektur khas jawa, belanda, ataupun dengan islam. Bahkan Kalau merasa
itu kurang cukup menjadi bukti bahwa lasem adalah sebagai kota yang saling
menghargai, berkunjunglah ke Warung Jinghe. Warung tempat berkumpulnya
masyarakat lasem ataupun luar lasem. Dimana di warung itu terdapat santri,
pegawai, kiayi, ataupun para engkoh engkoh yang sehabis berdagang. Jangan
lupa, disetiap kesempatan mengunjungi wilayah baru bahkan seperti Lasem ini
yang sayang untuk dilewatkan adalah kuliner khas lasem. Di Lasem, banyak tempat
yang mengakomodasi kita para wisawatawan untuk mencicipi panganan khasnya yang
berbaur langsung dengan warga masyarakat Lasem. Diatas, warung Jinghe adalah
tempat favorit santri dan warga Tionghoa untuk berkumpul. Hal ini akan sangat
jarang dilihat dimanapun, bahkan sedikit dapat dilihat di indonesia. Kalau
kurang, berkunjunglah ke warung sate kambing di sebrang masjid agung Lasem.
Kalau bisa datang ke tempat ini tidak terlalu siang. Kita dapat berkumpul
dengan warga asli Lasem dengan berbagai macam profesi.
Pernah
coba kopi lelet? Kopi yang ampasnya di oleskan ke rokok yang sedang atau akan
digunakan. Atau bisa coba Lontong Tuyuhan. Lontong ini sangat fenomenal di
wilayah Lasem dan Kabupate Rembang. Akan sangat menyesal kalau kita lewat atau
singgah di kota ini tapi melewatkan citarasa luar biasa nusantara. Karena
lontong tuyuhan tidak hanya mengganjal perut, tapi juga cukup buat saya
ketagihan untuk terus menambah porsi. Tenang aja, lontong tuyuhan engga bikin
kantong kita kering kok. Adalagi makanan khas Lasem yaitu Bestik atau bistik.
Irisan daging sapi yang diolah lembut ditambah dengan bumbu yang khas pun bikin
saya merasa selalu kelaparan. Selalu ada rasa ingin nambah lagi dan lagi. Kalau
merasa kurang di Lasem atau Rembang Cuma belajar sejarah, atau belajar tentang
toleransi, atau kuliner di kota ini. Jangan khawatir. Rembang punya banyak
pilihan wisata daerah pesisir. Di wilayah Lasem, ada satu pantai yang terkenal.
Karakteristik ombak pantai utara yang tenang dan suasana yang relatif masih
sepi bisa menjadi referensi bagi kita yang ingin memperoleh ketenangan dari
deburan ombak. Wisata bahari disini pun masih relatif bersih. Cenderung terawat
karena masih minimnya wisatawan yang berkunjung. Hanya dihari-hari tertentu
saja. Memang pantainya tidak sejernih pantai-pantai di Indonesia bagian timur.
Tapi, cukup jadi pilihan wisata di akhir pekan atau liburan panjang.
Memang,
butuh lebih dari 4 hari untuk mengeksplore keindahan kota Rembang dan Lasem
sebagai pelengkap dengan toleransinya. Tak perlu modal besar dan jauh untuk
menikmati Indonesia. Karena Indonesia bukan tentang keindahan alamnya saja.
Indonesia adalah tentang keberagamannya. Beragam wisata, beragam adat, beragam
kebiasaan, hingga beragamnya suku dan agama yang (mungkin) tidak dimiliki oleh
negara lainnya.
Toleransi,
adalah hal yang penting bagi negara ini. Negara ini hadir karena toleransi
antar manusia yang ada didalamnya. Menjaga toleransi sama halnya dengan menjaga
bayi yang sedang digendong. Butuh perhatian, bahkan kasih sayang lebih untuk
menjaganya agar tidak jatuh. Senantiasa dilindungi agar tetap terjaga. Ilmu
tentang toleransi mungkin tidak akan saya dapatkan diberbagai kota. Di Jogja
saya belajar menghargai dengan cara yang sangat lembut. Di Lasem (rembang) saya
belajar menghargai melalui toileransi antar umat beragama. Toleransi nbukan
tentang siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Toleransi bukan tentang siapa
yang menjadi raja dan siapa yang menjadi pesuruh. Toleransi tentang perasaan yang saling
menghargai. Dari
Lasem, saya sedikit banyak belajar tentang toleransi dan menghargai sesama
manusia. Tidak peduli dia dari wilayah apa, suku apa, agama apa. Udah bukan
waktunya lagi (kita) jadiin toleransi sebagai alasan untuk berbeda. Dan jadiin
perbedaan sebagai alat untuk menebar konflik, menebar kebencian. Udah bukan
waktunya lagi kita saling berkonflik mengangkat senjata dan parang. Udah bukan
waktunya lagi kita saling mencerca dan menghina satu sama lain. Belajarlah
keluar, duniamu lebih lebar dari kedua bola matamu. Banyak pelajaran yang bisa
didapat di luar sana. Bahkan tidak cukup hanya membuka mata untuk melihat
betapa luasnya negara ibu pertiwi ini. Berjalanlah untuk mencari ilmu,
bukan mencari likers di Instagrammu. Masih
banyak hal yang harus saya tahu dari dunia ini.
Dari
Lasem, saya diajarkan untuk menghargai antar sesama. Siapapun itu. Tidak peduli
darimana, dia siapa, dan darimana dia dilahirkan. Ternyata, Lasem mengajarkan
saya bahwa hidup itu tentang bertoleransi, tentang menghargai. Mungkin efeknya
tidak akan terasa secepat kilat. Namun, percaya atau tidak, dari rasa toleransi
itu akan timbul rasa cinta yang lebih untuk tetap menghargai dan mencintai
khususnya kepada negeri ini. Sampai kapanpun, saya ingin tetap keluar. Membuka
mata dan melihat dunia. Serta terus berjalan untuk mencari ilmu yang berbeda di
setiap langkah kakinya.
0 comment:
Post a Comment